Jul 24
Hmm mendengar kasus-kasus flu burung di Indon (meminjam istilah temen di Malay), kok ya serem-serem juga ya. Masalahnya bukan pada kasus Sdr. Iwan sekeluarga, tapi membaca berita dan menonton TV kok ya masyarakat cuek banget dekat dari TKP pada saat burung/unggas/babi/sapi di bakar sebelum ditanam, padahal petugas sudah menggunakan pakaian sucihama ala Intel’s bunny people.
Sudah saatnya mencoba menjadi vegetarian karena kasus ini? At least I’m talking to myself. Ouch, how hard that can be.
Jul 10
Pagi hari menonton acara diskusi MetroTV soal pentingnya pendidikan, dan diskusi terbuka via telpon mengenai perlunya pendidikan tinggi, kaitannya dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi saat ini, menampilkan beberapa contoh termasuk Bapak Sony Sugema, pengusaha bimbingan belajar, yang (saya baru tahu) ternyata tidak sempat lulus karena keterbatasan biaya dahulu ketika mengenyam pendidikan tinggi.
Diskusi mengalir dengan agak flat out, karena sang narasumber terlihata “agak” menekankan pentingnya ilmu disiplin dia relatif terhadap pertanyaan pendengar. Terlepas dari diskusi yang ada, kajian ini cukup menarik, karena relevansi terhadap perubahan dunia saat ini.
Menurut hemat saya, point pendidikan ini cukup menarik, mengingat kita sebagai negara memiliki status “tertinggal” di dalam banyak hal. Dan salah satu reputasi yang “tidak enak” dalam percaturan dunia adalah… sedemikian apa pun tingkat intelektualitas kita, nilai executive Indonesia akan terkompensasi lebih rendah dibandingkan dengan executive luar. Fakta yang menyedihkan.
Nah penting mana sih pendidikan formal atau informal? Menurut pandangan saya, keduanya memegang peranan penting. Pendidikan formal penting, non formal juga sama pentingnya, dapat memperoleh keduanya juga suatu anugerah. Bagaimana dengan yang tidak beruntung memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi karena faktor biaya? Hmm rasanya ini merupakan PR utama pemerintah disamping gerakan swasembada yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengulurkan tangan.
Namun kok masih terasa kental atmosfir lulusan pendidikan tinggi kita sangat tidak siap dengan dunia kerja yang merupakan dunia sebenarnya yang akan ditempuhnya sebagai sandaran hidup di sepanjang sisa hidupnya? Apakah pendidikan kita saat ini sudah sangat tidak berorientasi dengan dunia kerja? (terlepas dari pendidikan-pendidikan kejuruan/keahlian yang lebih “siap pakai”)?
Bagaimana menurut pandangan anda?
Jul 09
Menonton sepintas berita pernikahan putra Presiden RI, terlepas dari cerita rame-rame soal biaya (yang diskusinya mengalir baik dan lucu di milis technomedia), satu hal yang tetap mengganjal hati saya; Kenapa semua mantan Presiden RI yang diundang tidak ada yang datang?? Dimana lagi letak ke-“Indonesia”an para pemimpin Indonesia saat ini? Yang katanya ramah tamah, berbudi pekerti yang tinggi, dan lain-lain bla bla bla… Masa tidak ada satu pun yang datang? (Seperti kata Farhan, Indi Barens di acara pagi Good Morning, “Mungkin pada lagi sibuk NgemCee (jadi MC) ๐ )….
This is wierdo, saya sudah amati trend ini dari sejak serah terima jabatan paling tinggi di negeri ini, ketika itu tidak dihadiri oleh Mantan Presiden. Huh? Apakah siklus ini akan berulang lagi?? Jangan gitu dong. Biasakan jadi orang besar, kalo kalah ya legowo, terus mana manner the Indonesian ways anda. Kalo ga rubah aja promosi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang iri dengki, tidak bermartabat, boro-boro ramah tamah, kami barbar bo, gitu loh…
Ya Pak SBY, jangan lupa dateng kalo nanti saya ngundang anak saya ya by the time kalo saya jadi Presiden RI ๐ … kita makan bancaan Nasi Padang aja ๐
Jul 09
Sore ini baru pulang pp Jakarta-Bandung menghadiri pernikahan sobat saya (fiuh macet edan pintu tol Jatibening euy), idupin TV liat siaran Vivi Aleidayahya (Metro) dan Pak Sofyan Djalil… Intinya soal perdebatan soal pembatasan siaran TV yang sekarang tidak boleh mencapai diatas jam 12. Terakhir ada telpon live dari Bapak Effendi Gozali (Pakar Komunikasi UI), yang menanyakan bagaimana kalau ada “Breaking News” yang seharusnya dia tonton jadi tidak tersampaikan karena siaran sudah off diatas jam 12.
Kelihatannya ada yang missed disini. Pertama adalah agenda soal penghematan energi yang menjadi concern semua orang (terutama pemerintah; pertama kali saya dengar soal rencana pembatasan siaran ini pada saat temu HIPMI lalu di Jakarta). Namun sepertinya para pertinggi pemerintahan panik, ingin shutting down component apa yang bisa untuk save the energy.
Mungkin Pak Sofyan bisa consider ini:
1.TV… Hmm nice touch. Kalo memang dirasa perlu, idenya bagus juga. Tapi bukannya dengan pembatasan jam siar maka rakyat tidak dapat informasi Pak? Plan save energy ini apakah tidak contradict dengan pencerahan masyarakat (pemberian informasi). Kalo yang punya uang sih ga ada siaran TV juga so what gitu loh, toh ada TV cable, parabola dll. Kalo server-side (Stasiun TV) save energynya tentu ga sesignificant level client-side (recipient) yang jumlahnya bisa sekian juta (puluh juta) node. Tapi bukannya lebih baik diamankan dulu soal content TV yang banyak junks? Biar kata siaran pendek kalo bermutu mungkin solusi ini masih boleh jadi bahan pertimbangan. Kalo sudah pendek isinya junks semua, apa bedanya dengan kita menjelang era “dark ages” lagi? dan next thing mungkin saya akan dump my TV and solely idupin DVD ๐ —- toh ga bakal save energy (gagal dong Pak?).
2.Sudahkah pemerintah bener-benar memahami soal pemborosan energy oleh Pentium?? TV cuma makan seratus sekian watt, tapi komputer berbasis Pentium 4 terbaru bisa makan berapa Pak? Read my rants here.
3.Benarkah pemerintah tidak bisa lagi bisa memikirkan alternative energi? Bagaimana kalo masyarakat punya solusinya? Akankah ada perlindungan atas keselamatan dirinya? Energy bukan masalah sederhana tentunya Pak, yang menyangkut hajat orang banyak, dan keselamatan jiwa. Bagaimana kalau tiba-tiba BBM tidak lagi relevan dengan energi alternatif ini?… This is my second time brought up the issue.
Jul 05
Menjelang tengah malam menonton berita TV SCTV soal rencana anggota DPR untuk melakukan benchmarking ke luar negeri; Prancis dan Amerika, yang disindir bahwa dikedua negara itu saat ini sedang “summer season” sehingga hampir semua tempat/kantor pemerintahan tutup. Pertanyaan saya selain pertanyaan umum “Apa yang dibenchmarking adalah…” Apanya yang mau dibenchmarking, wong sistem pemerintahannya juga beda, dan Mengapa harus segala sesuatunya dibenchmarking? Tidak bisakah mikir benar-benar mikir!! Toh apanya lagi yang mau dibenchmarking kalo cuma datang 1-2 minggu, lagian mengapa harus benchmarking kalo semua ngaku lulusan luar negeri? Bukannya dulu sudah bosan lihat dan tinggal disana?? Apa tidak pernah lihat luar negeri pak? Ato kesempatan njenguk anak yang lagi liburan disana?? There I said it!! Enough about this nonsense. Yang pasti ujung-ujungnya ingin benchmarking agar Take Home Pay DPR bisa disetujui untuk naik? Kenapa tidak dibenchmarking pendapatan disana dibandingkan dengan rakyat Indonesia yang masih banyak yang busung lapar pak?? Argghh anggota DPR membosankan… masih punya hati nurani tidak?
Recent Comments