Salah satu pertanyaan yang selalu diutarakan rekan-rekan kepada saya adalah “A’, situ bener mo nyalon? Programnya apa nih?” merupakan hal-hal yang rutin saya dengar dari rekan-rekan terdekat saya. Pertanyaan pertama saya tidak bisa jawab, karena saya bukan anggota partai. Bagi saya, ini masalah panggilan hati, soal diakomodir ato tidak, paling tidak kita sudah menularkan panggilan kepedulian ini bagi rekan-rekan lainnya, yaitu “untuk mulai memikirkan tempat tinggal kita, bagaimana membangun tempat tinggal, tempat hidup bersama, dan kualitas hidup bersama yang semakin baik.”
Untuk pertanyaan kedua saya dalam beberapa kesempatan mengutarakan beberapa permasalahan sosial mulai dari pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, pejalan kaki, kota yang lebih bersih, dan tidak lupa akar permasalahan ekonomi, yaitu “proporsi pengeluaran dan pendapatan kita terhadap hal-hal mendasar yang dibutuhkan untuk hidup”.
Apa yang dimaksud dengan proporsi perngeluaran dan pendapatan disini? Mungkin tidak banyak dari kita yang memperhatikan berapa rupiah setiap hari yang kita butuhkan untuk sekedar makan dan transportasi. Beberapa masukan yang saya terima, bahwa kehidupan di Jakarta menghabiskan 40% biaya hidup bulanan hanya untuk transportasi.ΓΒ Beberapa cerita lain cukup menyayat hati bahwa seorang pegawai rendahan tidak dapat datang ke kantor karena gajinya sudah terlanjur habis untuk biaya transport pun sudah tidak ada lagi.
Pada dasarnya kebutuhan hidup manusia itu cukup sederhana. Makan, pendidikan, transportasi, perumahan. Kebutuhan tahap kedua adalah rekreasi. Kebutuhan buat masyarakat dewasa adalah dapat membiayai anak-anaknya sekolah. Pola ini tidak berubah ratusan tahun namun seperti terabaikan oleh pemerintah. Think think think! Pemerintah sebagai fasilitator hanyalah membantu menyediakan dan mempermudah kebutuhan tadi dapat terpenuhi dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakatnya. It’s that simple. Namun kenapa dalam prakteknya yang disebut pemerintah seperti masa bodoh?
Salah satu “ide gila” saya adalah ekonomi mikro. Uang yang berputar dan beredar di masyarakat kecil. Tidak hanya kecil di mata anda, anda pun (termasuk saya) merupakan masyarakat kecil. Karena kita pada dasarnya masih masuk golongan masyarakat yang hidup hanya dengan 2 dollar sehari (sebagian besar masyarakat lain malah struggle untuk bisa hidup kurang dari 1 dollar sehari). Menyedihkan. Solusinya bagaimana? Solusinya ya “Proporsi” tadi. Apabila pemerintah “menstabilkan” kebutuhan basic manusia, sehingga setiap anggota masyarakat dapat menyediakan penganggaran (misal: 15% untuk transportasi, 20-30% untuk makan, 15% untuk biaya sekolah anak, sisanya bisa ditabung), maka masyarakat dan pemerintah tidak perlu dipusingkan dengan UMR yang tiap tahun tidak akan pernah memenuhi kebutuhan hidup. Sekarang 800-900rb sebulan, mau dikasih 2,000,000 perak juga UMR kalo cara penanganannya seperti sekarang juga ga bakal cukup masss… Dahulu saya dan rekan-rekan bisa hidup dengan 60rb rupiah sebulan, uang yang sama sekarang mirip dengan nilai 6rb rupiah. Gosh.
Ambil contoh Pak Dawan yang sehari-hari berjualan gorengan dan bala-bala di Simpang Gandok, Ciumbuleuit. Yang sudah beliau lakukan adalah pengentasan permasalahan ekonomi buat keluarganya. Dengan berdagang demikian, maka setiap hari Pak Dawan akan “pegang uang” istilahnya. Semangat demikian yang saya suka. Apabila teori “pegang uang” harian ditelurkan ke anggota masyarakat yang lain, dijamin setiap orang akan terlepas dari masalah ekonomi harian. Dan jangan salah, usaha “pegang uang” harian, seperti halnya berdagang, mungkin akan jauh lebih besar menghasilkan daripada sebagian besar kita yang menjadi “kuli berdasi” di setiap kantor ber-AC yang ada di perkotaan.
Apabila masalah penularan “mau membuka lapangan usaha kecil-kecilan” demikian dimiliki oleh seluruh dan sebagian besar dari masyarakat kita, maka Pe-Er pemerintah dan pemerintah daerah tinggal MENYEDIAKAN tempat yang bersih dan layak. Paris Van Java? (ato PVJ?) Wah membuat replikasi 10-20 tempat demikian yang dihuni oleh para pengusaha kecil dan berjualan makanan dijamin menyelesaikan masalah, namun kalo cuma bikin tempat cuma hanya bisa diisi oleh para pengusaha kakap ya ga bakal menyelesaikan masalah pengentasan kemiskinan dan masalah ekonomi pada umumnya dong.
Coba anda perhatikan kehidupan orang-orang tua dan lanjut usia di Singapore. Sebagian dari mereka masih dapat berjualan minuman kaleng dengan harga 1 dollaran dan berjualan di food court. Dengan kepastian proporsi pendapatan dan pengeluaran (kepastian transportasi dengan tiket bulanan MRT 50 dollar, internet dan telpon 30 dollar,ΓΒ makan 250-350 dollar, tempat tinggal 300 dollar) maka mereka bisa hidup dengan kepastian hidup bulanan.
Mengapa di Indonesia hal itu sulit sekali dilaksanakan? Wah jangan tanya ke saya, Pak Dawan aja tadi bingung soal rencana kenaikan BBM yang bikin tepung terigu naik dari 4000 per kilo jadi 6000 per kilo. Bayangin biaya operasional yang harus beliau tanggung. Harga bala-bala pun direncanakan naik dari 500 perak sebiji jadi 700 perak sebiji. Apa sih 200 perak sebiji? Kata sebagian besar para pertinggi, pejabat, dan para menteri yang sudah lupa dengan uang-uang kecil dan mungkin sudah lupa pernah mengkonsumsi bala-bala. Nah itu yang saya bilang pemerintah melupakan dan tidak memiliki keberpihakan pada rakyat kecil. Bukan masalah 200 peraknya bosssss… kita bicara 200 perak dari 500 perak = 40% kenaikan harga tuh! Kalo bicara kenaikan nilai proyek ato mark-up 40% mungkin baru tegak kepalanya semua!! Dasar.
Recent Comments