Sehabis makan malam saya berdiskusi dengan calon istri saya yang kebetulan salah seorang pendidik/staff pengajar senior di salah satu universitas swasta di kota Bandung.
Berawal dari niat saya melungsurkan Apple PowerBook G3 saya agar dapat dia pergunakan untuk keperluan mengajar (karena saya capek ngurusin laptop PC Windowsnya yang selalu bermasalah dengan virus/worms), saya memintanya untuk melakukan do-it-yourself test (sebagai seseorang yang awam dengan platform Mac OS). Saya minta dia memindahkan sendiri file2 pekerjaannya dari mesin desktop Windows ke PowerBook via USB FlashDisk, voila, ternyata dia dengan mudah dapat membuka dan meneruskan pekerjaannya di Microsoft Office 2001 for Mac.
Diskusi berkembang ketika saya membaca salah satu file yang dicopynya seputar tugas yang diberikannya kepada mahasiswa mengenai study case marketing “Starbucks: Expansion In Asia”… Diskusi seputar SBM (School of Business Management, ITB), dimana kami berdua kebetulan menjadi alumni di program magisternya 7th yang lampau.
Pandangan saya selaku mantan mahasiswa dan saat ini (setelah menjalani bisnis secara intensif 7th belakangan ini) secara gradually bergeser jauh. Sesuatu yang dipandang merupakan kondisi ideal dalam kampus di dalam dunia nyata akan tidak selalu berarti demikian (tentunya anda yang berusaha sendiri mengerti maksud saya).
Kenapa studi kasus yang ada hanya dan selalu membahas kasus-kasus di luar negeri? Dengan demikian kita seperti dipaksakan/diminta untuk selalu membahas kasus yang ada pada perusahaan luar negeri (seperti halnya belajar sejarah). Mengapa kita tidak pernah mencoba menggali kasus di dalam negeri? Saya tanyakan bagaimana dengan Bembie (salah satu produsen motor unik kecil di Bandung) dan misalnya Kopi Aroma, salah satu produsen kopi unik pengolahannya (hanya memproses kopi-kopi yang sudah disimpan 7-13 tahun yang secara bisnis tidak feasible). Kenapa tidak banyak para pakar menggali kasus-kasus dalam negeri sekaligus mensuarakannya agar bisa menjadi kasus di luar negeri (kalo perlu di Harvard Business School ato di Sloan School of Management), kenapa para kita semua (dan para pakar) hanya berkiblat ke luar negeri. Para pakar marketing Indonesia misalnya dengan bangganya menjadi “corong suara” perpanjangan tangan bagi para Marketing Guru di luar negeri.
[sedihnya saya mendapat beberapa masukan dari diskusi ringan dengan beberapa mahasiswa SBM tersebut yang sedang mengikuti perkuliahan saat ini, bahwa study case dari Harvard sudah menjadi “sesuatu yang mystical” dalam term Harvardnya bukan konten yang bersangkutan. Ketika saya coba ajak diskusi ringan diluar itu, kelihatan bahwa mahasiswa tersebut tidak up-to-date terhadap perubahan kasus/situasi yang ada saat ini. Sangat tidak up-to-date. Bahwa kasus yang dibawa di Harvard itu bukan kasus baru saya tidak ragukan lagi –kadang-kadang malah kasus yang sifatnya ancient seperti kasus perkembangan Intel, sejarah Intel s/d rasanya 7-10thn yang lampau. Bagaimana bisa menggambarkan situasi dimedan perang saat ini???? Saya selalu merasa orang yang lively mau belajar dengan banyak membaca dari internet menjadi orang yang lebih up-to-date dan lebih kompetitif, permasalahannya tidak selalunya dosen/staff pengajarnya lebih up-to-date dengan permasalahan yang ada karena tidak selalu up-to-date (gila make bahasa Indonesia itu ternyata susah yeee :D)] — bagaimana komentarnya Mas Budi?
Tentunya tidak selalunya demikian. Ketika saya kuliah dahulu salah satu dosen saya cukup jeli untuk membawa kasus PT.Gresik dan Cemex, tapi pertanyaan saya sejauh manakah persentase kita akan menjadi bangsa yang leading tanpa terus menerus menjadi bangsa yang pengekor??? Apakah bangsa ini sudah sedemikian rendah dirinya kan???
Internet, trend setting, fashion, fast foods, ini itu … rasanya semua kita cuma hanya jadi pengekor…. kapan saatnya bangsa ini leading dan menunjukkan semangat leadershipnya ya? Akankah pernah?? 🙁
Recent Comments