Pada tanggal 15 Mei 2008 kemaren saya menghadiri undangan Penjelasan Teknis Tata Cara Pencalonan Walikota Dan Wakil Walikota Bandung di Grand Pasundan Hotel Pukul 19:00.
Acara dihadiri pula oleh ketua KPU Bapak Prof. Dr. H. Abdul Hafiz Anshary Az, yang dalam sambutannya menyatakan bahwa Pemilihan Walikota Bandung kali ini adalah sesuatu yang sangat istimewa karena merupakan contoh pertama dimana Pilwalkot/Pilkada yang mengakomodasi Calon Independen.
Beliau juga dalam gurauannya berkata, bahwa dengan kondisi Calon Independen yang berjumlah 28 pasang, apabila semua memperebutkan 80rb suara makan seluruh suara di Bandung akan habis oleh calon independen ๐ (Bandung dengan jumlah penduduk 2.230.000 dan pemilih sekitar 1.500.000 jiwa).
Berikutnya acara teknis disampaikan dengan detail, bersemangat dengan penguasaan yang tinggi oleh Bapak I Gusti Putu Artha, Sp, M.Si. (Pak, kalo kapan-kapan sampeyan butuh ceramah soal Industrial Acumen IT boleh saya sanggup menjelaskan sedetail anda menjelaskan proses pemilu ๐ ), menunjukkan totalitas beliau selaku pelaksana yang diberikan amanah oleh pemerintah (dan rakyat) selaku pelaksana pesta demokrasi di negeri ini.
Sesi tanya jawab pun dimulai dari beberapa calon independen, beberapa calon independen dengan concern yang tinggi mempertanyakan soal batasan waktu pengumpulan bukti dukungan ke PPS setempat yang serba belum pasti (Revisi Ke-2 Undang-Undang Pilkada) ini pun baru disahkan sekarang dan disosialisasikan saat ini, salah satunya berbunyi bukti dukungan sudah harus dikumpulkan ke PPS setempat selambat-lambatnya 21 hari sebelum pendaftaran yang berakhir tanggal 17 Juni 2008 dalam kasus Pilwalkot Bandung, sehingga pengumpulan dukungannya seharusnya sampai dengan 28 Mei (sedangkan di jadwal tertera 16 Mei).
Beberapa pertanyaan lain sehubungan dengan politik uang yang (katanya) dipergunakan oleh beberapa calon lain dalam mengumpulkan dukungan suara. Baik oleh Calon Independen maupun Calon Non-Independen. Hal ini merupakan preseden buruk bagi berlangsungnya demokrasi di Indonesia. Apabila prosesnya juga sudah dikotori oleh praktek-praktek tidak baik, besar kemungkinan hasil yang diperoleh juga tidak lebih bersih dari awalan prosesnya.
Dalam cerita yang lain, 2 minggu belakangan ini waktu saya dikonsumsi dengan beredar ke kawasan pinggiran Bandung, Cimahi, dan Cicalengka untuk banyak bercengkrama, berdialog, dan sekedar refreshing dengan warga setempat. Menemukan rekan-rekan baru yang mungkin lebih memberikan sudut pandang baru dibandingkan dengan homogenitas dan monotonitas kegiatan diperkotaan sehari-hari.
Alangkah mengagetkan kadang-kadang, betapa masyarakat pinggiran, yang notabene tidak jauh dari domisili di Bandung, masih dikisaran dibawah 30-45 menit transportasi, ternyata jauh sekali dari akses informasi dan pendidikan. Masyakarat ini hidup apabila boleh saya sampaikan dalam ungkapan “dunianya sendiri” alias terputus dari jalur informasi, pendidikan, kesehatan, apalagi perpolitikan. Mereka mengupayakan sendiri kebutuhan harian akan konsumsi pangan (makan dari sawah sendiri, lauk sayur sendiri, dan sambal), namun akses ekonominya terputus. Kadang saya tak habis berpikir bagaimana sedemikian banyaknya seminar-seminar dan rapat-rapat yang membahas peningkatan kesejahteraannya oleh para akademisi, dan politisi di daerahnya masing-masing tapi tidak pernah bener turun ke lapangan untuk menerapkan ilmu yang diperolehnya di bangku pendidikan tinggi. Semua terlalu sibuk dengan urusan perut masing-masing? Semua sibuk mengejar karir masing-masing? Semua sibuk dengan kehidupan kota yang dijalaninya?
Alangkah disayangkan bahwa sedemikain besar potensi alam dan kekayaan tanah air ini yang hanya butuh sedikit bantuan dan perhatian teknologi tepat guna, namun minim sekali perhatian kita terhadap lingkungan kita. Salah satu pertanyaan yang bikin hati terhenyak bahwa hampir kebanyakan mereka dilingkungan tersebut yang hanya menyelesaikan pendidikan SD. Saya lontarkan pertanyaan mengapa tidak melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi? Apakah uang jadi motif utama? Namun alasan utama adalah katanya karena tidak perlu. Hm.
Saya mungkin tidak akan meneruskan ke putaran ke-2 Pemilihan Calon Walikota jalur independen ini, karena masalah dukungan administrasi, dan mungkin hampir seluruh calon independen yang ada akan rontok pada putara ke-2 ini, namun tergiang ucapan seorang rekan, Arvino pada komen di Manifes saya tempohari, bahwa:
“Institusi pemerintahan bukan satu-satunya tempat berkarya. Menumbuhkan institusi bisnis yang maju pesat yang nantinya berkontribusi ke masyarakat adalah alternatif lainnya.”
…memberikan saya keteguhan hati bahwa saya harus menyalurkan kelebihan energi saya untuk memikirkan masyarakat di pedesaan. Masyarakat pedesaan yang membutuhkan perhatian kita, bantuan dan uluran informasi dari kita, merupakan masyarakat yang tepat dan masih memberikan kepuasan batin tersendiri bagi kita. Dan menariknya, masyarakat pedesaan adalah pencitraan masyarakat Indonesia seutuhnya, karena hampir 90 persen penduduk kita tinggal sebagai petani dan di pedesaan. Masyarakat desa juga masyarakat yang cenderung menerima dengan tangan terbuka, tidak perpreseden, tidak sok pinter, tidak sibuk berdebat, dan mereka adalah asal muasal kita.
Sudahkah anda tergerak kembali membangun desa?
(Diatas adalah salah satu potret pemandangan air terjun yang terdapat di kawasan sekitar Bandung. Sebuah kawasan yang dijamin memberikan ketenangan batin tersendiri bagi kita semua. Dengan bantuan uluran tangan kita semua kawasan ini dapat dibangun untuk kesejahteraan penduduk dan rakyat semua).
Recent Comments