Jangankan Hidup, Mati Aja Susah Di Negeri Ini (Buruknya Fasilitas Pemakaman Rakyat)

Social 27 Comments »

Sepeninggalan sahabat saya yang terasa mendadak, rasanya kena banget kutipan dan pemikiran saya selama ini tentang buruknya fasilitas publik di negeri ini, termasuk fasilitas pemakaman bagi masyarakat. Entah apa spesifikasi untuk menjadi pejabat publik di negeri ini, yang jelas kelihatan lemah atau malah tidak pernah menerawang ato dikasih mainan SIM city? Pejabat yang lebih tepat seharusnya disebut Pelayan, adalah fasilitator bagi warga untuk dapat menjalani hidup dengan kualitas yang lebih baik. Sebagai fasilitator sudah sepantasnya para Pelayan Rakyat ini (Public Servant) memikirkan fasilitas Sekolah (yang lebih baik dan lebih murah? gratis kalo perlu?), fasilitas Ibadah, fasilitas untuk tempat jalan-jalan publik (bukan notabene mikirin cuma jalan buat mobil) tapi jalan buat para Pejalan Kaki, fasilitas Taman Kota, fasilitas buat Para Warga Yang Super UKM (baca punya warung doang), dan lain sebagainya (intinya mulai dari lahir, hidup, makan, dipikirkan) sampai yang paling akhir, fasilitas Kematian. Disini luar biasa semua terasa terabaikan. Duit itu ya adanya di Pemerintahan. Duit paling besar ada di PU (Kimpraswil) dipergunakan untuk apa? Tambal sulam jalan setiap 2 tahun atau apabila ada KTT Asia Afrika lagi? Sungguh sia-sia. Bikin jalan harusnya 1x cukup bung! Kualitas ditingkatkan. Jangan sekedar cukup utang aja kalo bikin jalan. Fasilitas Publik? Boro-boro, kalo mau  serius ya bukain dong berapa anggaran yang tersedia di Pemerintah Daerah. Dana Drop dari Pusat. Sekian untuk prioritas departemen dan dinas ini, itu dan lain sebagainya. Sebagai warga kami berhak tau pengaturan keuangan yang ada.

Terus mo bagaimana dong kalo semua tidak dipertanggungjawabkan ke publik? Dipertanggungjawabkan ke DPR ato Partai aja mungkin cukup? Kenapa saya apatis dengan model kepartaian di negeri ini. Semua berlomba-lomba mencalonkan calonnya, yang sang calon pun bertanggungjawab moral ke partainya. Nah yang mewakili rakyat sapa dong?

Menilik kondisi pemakaman umum di banyak tempat termasuk mengiring kepergian sahabat saya kemaren membuat telaahan makin jelas, bahwa fasilitas pemakaman publik di negeri ini tidak dipikirkan. Boro-boro hidup, mati aja seperti terlupakan di negeri ini. Lebih jauh, rata-rata jalanan menuju ke pemakaman publik di daerah Bandung menunjukkan kondisi pemukiman masyarakat yang kumuh dan memiliki tahap penghasilan sangat rendah. Kadang saya berpikir, negeri ini tidak lebih seperti negara di daerah Afrika, sama-sama miskin dan terabaikan oleh pemerintahnya. Bedanya cuma tanah di negeri ini memang kaya, sehingga subur makmur kelihatan tidak gersang. Akan seperti inikah negeri ini sampai akhir hayat kita? Tanyakan pada diri anda sendiri semua.

Selamat Jalan Teman (Kenangan Untuk Iwan Subrata)

Social 8 Comments »

Pagi ini saya memperoleh SMS dan telpon bertubi-tubi dalam posisi masih tidur. Hampir tidak percaya mendengar berita telah berpulang ke Yang Maha Pencipta seorang rekan, Iwan Subrata, MM. sosok rekan yang ramah periang dan disukai oleh semua orang. Iwan, merupakan rekan kuliah S2 di ITB Magister Manajemen Angkatan XVII (1998). Bagi rekan-rekan yang belum mendengar berita ini, mungkin terasa mengagetkan. Mohon doa untuk mengiring kepulangan Iwan.

Iwan menurut berita yang saya dengar dari rekan-rekan tadi, mengalami sakit pinggang beberapa hari yang lampau, sehingga dirawat dirumah sakit Al Islam (Riung Bandung), namun ada indikasi yang terlewat ternyata ada pembuluh darah yang luka? pecah? sehingga harus dilarikan ke RS. Hasan Sadikin Bandung tadi malam dan divonis operasi. Namun operasi gagal, dan katanya sudah menghabiskan 20 kantong darah dan masih kekurangan darah lagi namun persediaan habis di PMI. Sungguh kepergian ini terasa mendadak, masih segar diingatan betapa sosok Iwan sering mengisi tawa di kampus dan mampir ke kantor lama dahulu di Lodaya, karena memang Iwan memang sosok yang loba hereuy (suka ketawa) jadi bikin suasana rame. Wan, masih inget ga kita berempat dengan Dendi dan Edria (temen gua) ngerayain ultah gua di Sapulidi, Cihampelas. Tak terasa airmata meleleh mengiring kepergian Iwan seiring dengan ditutupnya liang lahat dan sosok pandangan tak mengerti seorang anak kecil polos yang ditinggal sang Ayah.

Betapa dunia ini adalah sementara. 34 tahun adalah waktu yang terlalu cepat mungkin buatmu. Padahal kita udah lama ga ketemu ya Wan? Terakhir aku masih sempet mampir ke pabrik sepatu lo bareng Dendi dan makan di warung padang di Riung Bandung. Rasanya baru kemaren Wan Wan. Semoga kamu baik-baik disana, oke, dan anak istrimu bisa tabah dengan cobaan ini. Selamat jalan teman, kalo disana ada internet, aku tunggu chat lo yang suka pake nama samaran Bradford!

Visit Indonesia 2008, Program Kebakaran Jenggot?

Social 52 Comments »

Di TV saat ini (TPI) sedang berlangsung Grand Launching Program Pariwisata dari Pemerintah yaitu Visit Indonesia 2008, dengan website resmi www.my-indonesia.info. Program ini merupakan kerjasama antara 2 departemen, yaitu Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Departemen Komunikasi dan Informatika.

Ada beberapa hal yang terasa janggal dengan program ini. Yaitu program ini terkesan merupakan Program Kebakaran Jenggot setelah kasus “akuisisi” lagu Rasasayange dan Reog Ponorogo. Berikut adalah kritik dari seorang pemerhati masalah kemasyarakat:

1. Iklan resminya ga lebih 10 detik, cuma menampilkan “Greeting, Come with us, regards” dan cuma menampilkan Loncat Batu Orang Nias, Gunung Bromo? Orang Papua lagi teriak, dan Luna Maya lagi menari Bali. SANGAT tidak cukup mengundang dan tidak cukup material untuk menampilkan siapa dan mengapa Indonesia, dan alasan apa untuk datang ke Indonesia.

2. Ketinggalan. Negeri lain sudah mulai “menjual” wisata kedaerahan misal Cina seluruh daerah sudah mulai mengiklankan daerahnya masing-masing, begitu juga Malaysia dengan Trengganu, dan lainnya. Kita apa yang dijual? Kalo cuma ngandalin Bali sih ga usah bilang Indonesia, Bali aja udah pasti bule tau.

3. Program begini sih harus bicara UPGRADE MASSAL. Ga cukup cuma Gong Seremonial doang (Lah ini acara kok banyak seremonial di lokalannya aja, program di luar lebih perlu, apa maksudnya targetnya wisatawan lokal??) Bingung ane. Upgrade massal ini bicara pelayanan dari mulai pintu depan di Airport Internasional, Masyarakat diberi “jiwa” siap menghadapi wisatawan — yang ada wisatawan ke sini kalo ga “cuma urusan bisnis dari hotel ke hotel, wisatawan kere berbaur dengan warga lokal, dan wisatawan potensial yang banyak duit masih banyak yang belum tertarik karena masih “takut” datang ke Indonesia).

Kalo Bali sih lain cerita. Masyarakat disana sudah sadar kalo mereka hidup dari pariwisata. Lah kalo bicara wilayah Indonesia lain gimana atuh kang? Bisa-bisa yang datang malah wisatawan yang “berani menantang” datang ke wilayah unmapped. Takut bo’. Indonesia bagi sebagian besar masyarakat dunia masih kawasan merah. Kecuali yang udah tau enaknya rutin pasti datang ke Bali (wisatawan Jepang, Australi, dan sedikit Amerika).

Target yang dicanangkan optimis cuma 7 juta pengunjung, dengan target pesimis 6 juta pengunjung cukup shocking buat saya bahwa selama ini ternyata tidak banyak yang datang ke Indonesia. Mungkin selama ini angkanya 2 juta? 3 juta? *ada data exact?

Pendapat saya bahwa seharusnya program ini merangkul UPGRADE MASSAL dan terintegrasi. Tujuannya apa dahulu? Investasi? Ato cuma melancong? Berapa sih duit yang dihasilkan dari pelancong yang cuma 6 juta orang datang 2-3 hari di Indonesia? Malah kalo tujuannya investasi harusnya juga merangkul BKPM (Lah malah iklan BKPM jauh lebih mantap dibandingkan iklan Pariwisata Indonesia) Dooh!

Salah satu konsultan asing malah bilang wah gimana bisa maju Indonesia pariwisatanya, wong Menterinya aja ga bisa bahasa Inggris? Halah beneran? Semoga yang menyatakan ga bener (Pak buktikan kalo anda layak!). Pak SBY? Wah si Boss lagi kemana nih? Acara ulang tahun MetroTV malah dateng pake toast segala tapi acara Visit Indonesia 2008 kok absen Pak?

Emang paling top ga ada lain soal Pariwisata ya Joop Ave. Mungkin kesimpulan gampangnya “Wong ybs hidup dari istana ke istana 😀 ” *Pak Joop Ave sudah merupakan warga istana sejak dari Jaman Pak Karno.

Lebih jauh kalo menonton acara TV kali ini isinya terlalu banyak joke akan terasa banget emang sesuatu yang Indonesia banget tapi lupa di iklankan: “Yaitu terlalu banyak dagelannya, dan terlalu banyak seremonialnya”. Get real man!

Pelajaran Hidup Dari Mobil Susu (Renungan Untuk Warga)

Social 33 Comments »

Susu merupakan sumber makanan yang baik. Susu ibu, susu sapi, susu kaleng pun masih lebih baik daripada teh. Betul? Secara gua jaman kecil tidak terlalu suka susu, karena susu putih jaman dulu (biar dikata udah dicampur susu coklat) rasanya rada neg! Tapi ya dimeja suka disediain susu biar kata kadang curi-curi ga minum ato minum pake nutup idung 😛 , Jaman kuliah kesadaran akan perlunya minum susu meningkat, tapi susu juga udah ga dalam hitungan murah buat kantong mahasiswa. Susu kotak (kertas) jaman saya kuliah (1991-1994an) harganya masih 3 ribuan perak. Inget juga pernah beli susu Dutch Lady kaleng dari kampung halaman (di Bandung jarang) yang segede gaban harganya kalo ga salah dulu 20rban. Mahal banget bagi ukuran mahasiswa dengan uang saku bulanan 60rb perak.

Krismon 1998 merupakan titik tolak tahun sekem nasional. Secara inget temen punya bayi, nangis-nangis katanya beli susu udah 80rban. Sekarang susu lebih edan lagi, susu kecil udah 28rb apalagi susu kaleng besar. Buat yang udah pengalaman membesarkan anak mungkin bisa pengalaman berapa rupiah yang dibutuhkan sebulan untuk membeli susu?

Mungkin target obrolan saya bukan pembaca blog ini, secara pembaca blog “paling tidak” mungkin sudah sedikit lebih berpendidikan dan punya latar belakang ekonomi paling tidak lumayan? *semoga. Jadi mungkin urusan susu sudah tidak jadi bahan pemikiran lagi? Ato masih? Yang patut dipikirin adalah bagaimana dengan rakyat kebanyakan, yang makan aja masih harus bergantung penghasilan 10rb per hari, udah kena sekem kudu beli gas paling murah 25rb, biasa punya 10rb udah bisa masak dengan beli minyak tanah 1500 perak, sekarang apa kudu puasa dulu berapa hari baru masak, mana sempet disuruh mikirin susu. Anakpun dikorbankan dikasih teh aja. Dari cerita kakak saya tinggal lama di Jepang,  urusan susu disana adalah pe-er pemerintah. Punya anak udah pasti dapet jatah kiriman susu perbulan. Kalo urusan susu sang Bapak sih urus sendiri.

Yang saya mo gelitik disini suatu pertanyaan sederhana yang bermakna dalam. Apakah anda pernah melihat mobil susu melintas? Hayoo sapa yang pernah ngacung! Rasanya ga banyak yang pernah liat mobil susu di jalanan. Kecuali yang hobby plesir ke Lembang. Mobil susu itu paling jarang di jalanan dilihat publik sesederhana karena susu kalo banyak dilewatin orang akan mudah basi! Jadi setiap mobil susu yang melintas dari tempat pemerahan sapi ke pabrik susu haruslah dijalanan yang sedang sepi dan dikawal oleh voor rider. Jadi biasanya sih jalan kalo tengah malem dan sudah dibukain jalan. Kalo ga berapa kerugian kalo satu tangki basi semua 😀

Apa pembelajaran hidup dari kasus mobil susu? Ya negeri ini emang banyak siluman jalanan. Bukan genk motor, tapi skemernya itu adalah mengatasnamakan MAHAL nya biaya transportasi. Kalo nongkrong ditukang cukur gocengan suka mau nangis batin mendengar petani cerita kalo jagungnya sekilo cuma dihargain 100 perak, sedangkan di supermarket besar bisa 1300-1600 perak per kilo. Lah 1500 nya kemana? Ya itu atas nama mahalnya transportasi tengkulak-tengkulak bersorak-sorai diatas kehidupan petani.

Ada cerita  dari seorang officeboy yang saya kenal.  Ternyata sebelum krisis moneter 1998 beliau adalah seorang juragan tembakau di daerahnya. Bukan dengan konteks juragan jir markajir seperti bayangan anda, tapi kalo tani sendiri masih dikerjain sendiri sekali panen hasilnya 40 juta lumayan kan daripada jadi orang kantoran kudu modal dasi tiap kali tapi kantong tengah bulan juga udah kosong. Yang bersangkutan kemudian kena sekem “kelompok terorganisir” dengan mengatasnamakan kenaikan harga pupuk. Beli pupuk 1 ton pasti kena sekem aparat dijalan kalo bawa mobil, tapi kalo kelompok tertentu bebas melenggang. Mau bawa pupuk naik motor bolak-balik berapa ongkos kalo sekali trip cuma bisa gotong 2 karung? Alhasil banyak yang migrasi ke kota jadi pekerja serabutan dan salah satu tetangganya pun sempet menegak pupuk karena frustasi.

Apabila ingin mensejahterakan petani (mayoritas struktur masyarakat negeri ini) pertama yang harus dipikirin ya permasalahan transportasinya. Ongkos kirim dari sumber barang ke pusat perjualan di kota harus diminimasi. Thailand adalah salah satu negara yang pertama kali menerapkan sistem ini. Apabila ada hasil bumi diangkut dari petani maka dikawal oleh aparat untuk dibantu ke pusat penjualan di kota. Sehingga petani bisa menikmati hasil panennya dengan harga yang lebih baik, sekaligus bisa meningkatkan standard hidupnya. Kalo ga ya golongan tengkulaknya para petani ato nelayan ini sajalah yang akan menikmati keuntungan besar diatas jerih payah dan keringat para petani.

Saat ini beberapa officeboy dari daerah ini disela-sela pekerjaannya di kota jadi buruh, dikampungnya mulai ternak sapi Australi. Ternyata sapi Australi (unggulan ini muahal-muahal sekarang), bibitnya bisa 8,5jt perak dan bisa jual anakan 4 bulannya seharga 4,6jt. Not bad buat hasil ternak dan menambah peningkatan kualitas hidup mereka. Masalahnya sapi itu beranaknya cuma 1 kali setaon. Apa perlu dikawinin sama babi aja guyon saya biar anaknya banyak 😛 (Jangan serius2).

Masyarakat Timor Leste juga punya kebiasaan dari kecil anaknya sudah sejak lahir dibekali sapi. Jadi setelah umur 20an mau menikah harus meminang sesuai dengan “harga pasar” gadis yang ingin dipersunting. Misal sang gadis adalah kembang desa sehingga sang calon mertua minta 30 ekor sapi, ya mau ga mau tuh kudu siapin 30 ekor sapi hasil ternakannya dari kecil. Kalo ga bisa ya terpaksa cari calon kelas 2 deh 😀

Bener juga, banyak yang bisa dipelajari dari sapi dan kisah seputar susu. Minimal kan warga kalo punya sapi bisa minum susu sapi dan sehat-sehat. Negeri ini? Wah boro-boro bisa nyediain susu gratisan. Sekolah dan urusan perut aja masih dipersulit (mahal), gimana mo mikirin sapi? Kebalik ya? *ngacirrr

Mencari Uang Dengan Pantat (Jangan Serius-Serius Nanti Cepet Tua :D )

Social 22 Comments »

Beberapa tahun terakhir ketika saya memutuskan untuk mendedikasikan hidup saya untuk tidak hanya sekedar bergulat dengan sesuatu yang berbau teknologi, namun lebih ke perhatian ke humanity, saya banyak bermain, berinteraksi dengan banyak kalangan, mulai dari kalangan yang berkecukupan menurut standard masyarakat yang ada disini, sampai kalangan pekerja, room boy, office boy, satpam, tukang bubur, sampai warga kebanyakan. Dengan demikian saya harapkan lebih dapat mengasah hati nurani dan konteks pandangan kebutuhan mereka dari kacamata yang sebenarnya.

Hari ini setelah seharian mengintari kemacetan kota Bandung karena liburan seperti biasanya, saya putuskan muter keluar Bandung sampai ke kawasan pemukiman masyarakat biasa di kawasan Parakan Muncang (Bandung Timur). Secara ekonomis, Bandung Timur merupakan kawasan yang sedang bergejolak dan merupakan pertumbuhan kawasan Metropolitan Bandung di masa depan. Secara administratif pula, kawasan ini sedang “berupaya” memisahkan diri dari Kabupaten Bandung dengan membentuk sendiri kawasan Kabupaten Bandung Timur. Semoga niat baik pemekaran ini dilandaskan keinginan untuk membangun dan memberikan manfaat yang baik untuk rakyat dan warga, bukan sekedar bagi-bagi jabatan. Kepada pejabat yang terkait, saya cuma bisa mendoakan bahwa niat anda tidak melenceng dikemudian hari.

Salah satu pembicaraan dengan disana, rekan-rekan dari Brimob, adalah ngalor-ngidul soal yang ringan-ringan sampe obrolan pengalaman hidup mulai dari penugasan dikawasan bergolak di Aceh dan Timor Timur (Timor Leste) sampe masalah pembahasan ringan seputar pengentasan ekonomi masyarakat awam. Salah satu obrolan ringan tersebut mengingatkan saya pada cerita lama yang saya dengar dari seorang rekan saya yang orang tuanya memiliki kolega seorang expatriat yang pernah bertugas di Indonesia dan menyatakan bahwa dalam hidupnya orang lain mencari uang dengan otak, namun beliau mencari uang dengan pantat.

Beuh, Mencari Uang Dengan Pantat? Buat yang ga ngeh statement ini tentu bikin kepala pusing. Mengapa beliau bisa ngomong kalo beliau mencari uang dengan pantat? Ternyata penjelasannya jelas bikin geli. Beliau adalah salah satu expatriat yang ditugaskan untuk membangun Jalan Tol Jagorawi (secara gitu Jalan Tol Jagorawi merupakan Jalan Tol Terbaik yang pernah ada di negeri ini). Apa hubungannya? Ya itu karena ternyata dalam pembangunan Jalan Tol Jagorawi, beliau sebagai mandor pekerjaan tersebut paling hobby naik Mobil Pick Up dan duduk di kap mesin, dan merasakan gelombang jalan dari sensor pantatnya!! Glek! Pantes aja ybs ngomong kalo beliau mencari uang dengan pantat bwakakakakaka *makanya jangan serius-serius bacanya nanti cepet tua 😀

Anyway, cerita itu memang aslinya bener serius dan bener adanya. Kalo ditimbang-timbang dibandingkan dengan kualitas Jalan Tol Cipularang emang kayaknya kita lebih banyak perlu orang-orang yang bisa bekerja dengan pantat ketimbang otaknya 😛 *ngacirrrr … sebagai calon pengayom masyarakat dan warga yang baik, saya cuma bisa mengharapkan yang jelas semakin banyak pejabat yang bisa mencari uang dengan hati! Semoga amal kebajikan anda dibalas setimpal dari Yang Maha Kuasa.

WP Theme & Icons by N.Design Studio
Entries RSS Comments RSS Log in