Manajemen Apartemen Gallery Ciumbuleuit Sekem

Social 32 Comments »

Saya menempati apartemen ini sudah hampir 3 tahun lamanya. Beberapa hal yang saya alami dan saya toleransikan adalah termasuk pembangunan fisik gedung yang tidak sesuai spesifikasi (air dari kamar mandi banjir keluar, karena ternyata lantai dibikin datar bukan miring ke arah lubang air), dan di dinding ada korslet listrik pada konstruksi baja (tololnya) sehingga lantai panas. Pada intinya segala sesuatu harus saya kompromikan dengan mengadakan perbaikan sendiri, dan salah satu hal yang paling menyebalkan adalah janji bahwa di apartemen ada layanan internet (yang baru terealisasikan hampir 3 tahun kemudian), untung saya dapat memasang parabola sendiri atas kebaikan salah satu manajer disini.

Beberapa hal yang saya perhatikan tidak simpatik adalah PERLAKUAN YANG BERBEDA terhadap PARA TENANT (pemilik apartemen) dan PENYEWA HOTEL (Apartemen Gallery menyewakan sebagian unit nya untuk menjadi hotel), yaitu:

1. Tenant tiba-tiba saja tidak lagi diperbolehkan mempergunakan jasa porter (tukang angkat barang) untuk membantu membawa barang/koper yang besar dari front office. Jasa penggunaan porter hanya diberikan untuk PENYEWA HOTEL.

2. Akses telepon intern (iphone), merupakan titik paling menyebalkan dari apartemen ini. Kalo weekend dijamin hang, dan tidak ada suara. Sedangkan akses satu-satunya ke dalam (ke front office, dll) sangat tergantung dari keberadaan iphone ini. Lebih jauh, sering taxi atau tamu sudah menunggu di lobby tidak berhasil menghubungi tenant karena iphone nya tidak berfungsi dengan baik. Pihak engineering menyatakan “sudah maklum” katanya karena perangkatnya agak kuno, sehingga kalo satu diangkat (tergantung), PABX nya suka hang. Maklum tapi tidak melakukan apa-apa? How good.

3. Lift merupakan titik lain yang paling menyebalkan. Dengan bangunan 26 lantai (persisnya 18 lantai + 3 basement karena nomor-nomor 1,2,3,4, 13,14, 23, 24 ga ada. Agar keliatan tinggi gedungnya? Entahlah) Yang pasti dengan 21 lantai hanya dilengkapi dengan 2 lift berukuran sangat kecil (plus satu lift barang) merupakan biggest joke on the planet. Berhemat? Dinas kota ga pernah kontrol soal kebutuhan lift? Bagaimana dengan kondisi keadaan darurat? Dengan adanya penyewa hotel yang membanjiri Bandung setiap weekend (ditambah kondisi Bandung yang selalu kekurangan hotel setiap weekend) membuat naik dan turun lift bagi para tenant (dan penyewa hotel) tentunya menjadi pengalaman yang sangat memfrustasikan.

4. Kemaren, tiba-tiba teriring internal memo yang menyatakan bahwa setiap tenant akan diberikan Mailbox, yang intinya sekarang setiap tenant harus mengambil sendiri semua surat-surat yang ada ke ruang mailbox di basement 1. Pengiritan terhadap SDM? Luar biasa. Beberapa kali saya perhatikan penyewa hotel pun mengeluhkan soal kondisi lift yang tidak memadai, dan porter yang cuma 1 orang yang bertugas untuk ukuran hotel dengan 26 lantai.

Saya pikir menarik juga berbisnis apartemen + hotel. Pertama anda bisa menarik uang pembiayaan pembangunan fisik dan mengejar BEP (break even point) dengan MENJUAL unit yang ada ke TENANT. Kemudian, untuk memperoleh profit yang berkesinambungan anda dapat menarik uang lagi dari MENYEWAKAN sebagian unit-unit yang ada kepada PENYEWA HOTEL. (Untuk kebutuhan operasional gaji dan listrik dan lain-lain sebenarnya sudah tercover dari biaya bulanan yang ditanggung para tenant, untuk unit 2 kamar tidur seperti saya berkisar 800 ribu per bulan).

Lebih menarik lagi, padahal buat sebagian tenant yang hidupnya cuma tek-tok dari kantor-apartemen-molor, hampir sebagian besar fasilitas tidak dinikmati, tapi justru fasilitas layanan dari waktu ke waktu semakin berkurang (karena tenant dianggap “cuma” menyumbangkan 800rb per bulan relatif dibandingkan nilai jualan Sewa Hotel yang bisa mencapai 10 juta-13 juta untuk unit yang sama perbulan). Menarik bukan?

Even better memo yang diedarkan pun belum disosialisasikan dengan baik ke seluruh karyawan di front office yang ada, sehingga ketika saya ingin mengambil kunci mailbox saya, yang saya alami adalah jawaban, kurang tau pak. Itu urusan tenant relation. Haiyah. Memperoleh jawaban yang tidak profesional tersebut saya hanya melontarkan ucapan, “Kok pelayanan di apartemen ini semakin hari semakin berkurang ya? (dengan nada emosional) Saya mo pindah aja dari sini!”.

Gimana nih jawaban dari pihak Manajemen Apartemen Gallery Ciumbuleuit? Pak Nandang? Pak Himawan? Terpaksa saya harus buka dipublik karena kelihatannya semua upaya komplain saya (selama 3 tahun menempati apartemen ini saya ada 2 kali melontarkan surat komplain seputar kebisingan karena pembangunan jalan di depan yang berbunyi-bunyi tek tak tek tak (logam beradu) yang tidak terperhatikan selama berminggu-minggu sehingga mengganggu tidur di malam hari, dan urusan iphone (malah lupa pernah komplain resmi via surat ato ga) yang jelas saya sudah terkenal hobby marah-marah soal ini).

Karena kesibukan harian, saya tidak sempat kumpul di acara silaturahmi penghuni yang sudah diadakan 3 kali? Ada pembentukan paguyuban penghuni? yang harusnya mempunyai nilai tawar ke pengelola apartemen. Ato akan selama ini penghuni jadi bulan-bulanan manajemen satu arah saja? Kalo memang serius anda yang sekali-kali menghubungi saya, jangan saya saja yang setengah mati cari anda dan ngurusin hal yang ga penting jadi penting ini. Rusuh.

Telpon saya: +628552181888.

Pilih PNS ato Swasta? *Kalo Sekarang Ganti PNS dengan Partai

Social 12 Comments »

Saya masih ingat pengalaman bertemu dengan salah seorang pejabat yang kemudian jadi teman dekat urusan perang pukul-pukulan bola paling jauh di lapangan hijau, 11 tahun yang lalu. Beliau adalah termasuk sedikit orang yang “menyadarkan” saya setelah dibentuk dengan sistem pendidikan “kegedean topi” di salah satu universitas di negeri ini.

Pembicaraan dilapangan hijau bermula ketika di 19th hole duduk-duduk minum seruputan kelapa. “Di, lu lulus mo kemana?”… dengan sigap saya menjawab “Multinasional pak!” “Mau jadi konsultan!!”… dengan pedenya. Beliau malah berkomentar santai “Bodoh lu Di… harusnya elu masuk pegawai negeri”… gua jadi bingung… “PNS? Ga lah yauw. Secara keluarga ga ada kalangan PNS, dan ga dilatih berpikir lulus jadi PNS.”… Dengan ringannya beliau berkomentar lebih lanjut… “Lah iya… orang pinter kayak kamu di swasta banyak. Kalo di PNS menonjol kamu.” … Jeleger… bener juga ya…

Lebih lanjut saya berkesempatan bertemu dengan orang-orang partai dari daerah kemaren dalam suatu urusan yang saya sebenarnya tidak terlalu menikmati. Dalam kesempatan ini, hati cuma bisa terlohok-lohok ketika mendengar cerita salah satu Bupati di daerah berkomentar “Hmm kamu eselon berapa? 3? Ok… aku naikkan kamu besok jadi eselon 4!” Jeleger… wah bukan sedang joke ato lagi nyekem itu Bupati. Lah emang ga ngerti kalo eselon 3 lebih tinggi dari eselon 4. Secara sekarang di daerah pola umum yang terjadi, untuk menjadi anggota dewan, cukup mengumpulkan paling banyak dukungan. Nah salah seorang mantan TU sekolah saya pun sekarang sudah bisa menikmati jadi anggota dewan, secara gitu dulu profesinya adalah supplier ke kawasan transmigrasi. Nah ngumpulin 3000 KTP kan pekerjaan yang tidak terlalu sulit buat hal tersebut.

Anggota dewan di daerah yang lain, sedemikian sekemnya hobinya cuma ngelihat mobil-mobil berseliweran yang ada. Wah bagus tuh mobil, merk apa ya? Aku pokoknya mau yang itu! Lah segitunya dul dul… sekem abis.

Nah kalo anggota dewan dan yang namanya demokrasi kualitasnya cuma demikian, dan orang-orang yang berpendidikan dan pinter-pinter ga mau pada nyemplung malah pilih di swasta, mo jadi apa nasib negara ini? Jadi negara dagelan dong. Au ah gelap.

Rakyat Menangis, Pemimpin Sedang Nari Poco-Poco Dan Undur-Undur

Social 17 Comments »

Berita apalagi ini? Begitulah nasib jadi warga negara di stateless country. Demokrasi yang kata sebagian orang pintar di negeri ini adalah sumber pemecahan masalah dan dengan biaya pesta demokrasi yang menelan anggaran 17 trilyun, ternyata cuma bisa ngajarin pemimpin negeri ini untuk belajar menari bersama, entah Poco-Poco entah Undur-Undur. Ya elah, kalo cuma mau berantem mending kagak usah pake baju mengatasnamakan wakil rakyat dong pak, bu. Dengan uang sedemikian besar (itu baru uang yang digelontorkan pemerintah, uang yang berputar untuk pesta poco-poco dan undur-undur itu sendiri dari lingkungan terkait mungkin bisa mencapai 10x lipat itu), mungkin lebih bijak bila kita punya pemimpin yang perduli dengan 9 kebutuhan pokok masyarakat, harga pupuk yang tidak lebih mahal dari harga jual produk pertanian, lapangan kerja yang jelas, stabilitas harga. Nasib masyarakat yang sebagian besar petani? lupakanlah, mungkin kita perlu bareng-bareng bikin pemakaman massal. Ato bikin tarian kematian massal? Pemimpinnya sibuk tari menari Poco-Poco dan Undur-Undur kok.

Stateless Country

Social 16 Comments »

Negara ini semakin hari semakin menyedihkan. Manajemen dan pemecahan terhadap masalah-masalah yang mendesak harus dipecahkan seperti terabaikan begitu saja. Lumpur dan nasib ribuan warga bencana? diambangkan saja. Kedele, tepung terigu naik rakyat menjerit-jerit diabaikan begitu saja. Beras dioplos, daging digelonggong ato lebih parah dicampur daging celeng jadi pemandangan harian. Nilai uang semakin tidak ada harganya pun jadi sesuatu yang biasa saja. Sekarang banjir pun tidak pernah serius dipikirkan pemecahannya seperti berita yang kalah rating dibanding berita entertainment selebritis yang hobi kawin cere.

Maunya apa sih negara dan pemimpin negeri ini? Apa memang sudah ga ada lagi yang berani bertindak? Mungkin memang belum pantes kita dipimpin oleh seorang sipil.

Parameter Inflasi Dan Kemerosotan Ekonomi

Social 47 Comments »

Kalo para pakar ekonomi dan para menteri hobi bikin pernyataan dari itungan Persen-Persen, seperti pertumbuhan sekian persen, pengangguran turun sekian persen, komisi sekian persen *halah yang terakhir salah sekem pisan 😀 , kalo gua Aa Nata lebih hobi bikin parameter paling keliatan pake mata buta, yaitu parameter inflasi sekarang adalah:

minibaso1.jpg

“PENURUNAN KUALITAS JAJANAN RAKYAT” seperti baso diatas. Baso ini adalah baso yang sama yang dahulu pernah diborong segerobak-gerobaknya ke acara Gathering Anak-Anak Apple di Villa Istana Bunga, Bandung.

Baso yang dahulu guede-guede sekarang tinggal seuprit demi mempertahankan harga jual tetap sama. Jajanan-jajanan yang lain juga demikian, sedapat mungkin resepnya dimulai dengan tidak menaikkan harga tapi dengan menurunkan ukuran (kuantitas) tapi kalo ga kekejer juga ya mau ga mau turun kualitas.

Lebih parah ga cuma jajanan. Sekarang coba beli lem misalnya, yang ada udah harganya naik, isinya pun seuprit alias jauh dari ukuran penuh tube. Halah. Semua dikarenakan kenaikan harga bahan tambah berat lagi dengan kenaikan harga BBM *yang selalu aneh buat saya dimana negara ini ada Produsen, diingetkeun kembali — Bilang aja lo kagak rela jual murah buat rakyat sendiri.

Jadi inget jaman kecil SD (SD gua 79-85) kalo beli Putu itu (makanan rakyat yang bunyinya puuuttttt…. kayak peluit), rasanya masih gurih banget, eh menjelang lulus SD udah pertama kali inflasi putu-putu yang beredar dipegang aja getas, ga ada gurih2 nya sama sekali. Ngomongin duit apalagi, jaman TK gua ga pernah dikasih duit jajan tapi makan siang bareng kakak, dikasih 25 perak. 25 rupiah taon segitu bisa beli 2 piring lontong sayur, satu yang 15 perakan, satu yang 10 perakan. Giliran SD kelas 1, 2 pegang duit limper (ada yang inget limper? = lima perak) bisa belanja es ato kerupuk dikasih kuah sate padang. Sekarang? Pegang sejuta perak aja kayak pegang 100 ribu perak jaman menjelang krismon. Dulu kan pegang 10 ribu pede bisa ngajak cewe ke McDonalds karena Fillet-O-Fish cuma 1700 perak, sekarang (untung hampir ga pernah ke McD lagi) mungkin kalo ga bawa 100rb  ga pede mo mampir ke McD. Di Amerika padahal dari dulu McD harganya 1 dollar, ya sampe sekarang masih 1 dollar keneh. Sekem pisan.

Nah kalo semua udah pada mahal rakyat disuruh makan apa? Gampang… kata pejabat yang biasa makan nasi pulen dan daging tiap hari… kan masih ada kerupuk melarat *wiki= kerupuk yang dimasak ga pake minyak alias dioseng2 pake pasir… 3-5 tahun dari sekarang mungkin isinya udah pasir aja yang banyak karena bahan baku kerupuknya juga udah ga kebeli. Ide lain? Kerupuk lumpur Lapindo? Wah cukup buat negeri ini 30-50 taon lagi… mungkin kalo masih ada ato udah kelelep di laut sebagian pulau jawa. Tau ah. Gua mah cuma rakyat penggemar kerupuk melarat!

banyakkk.jpg

WP Theme & Icons by N.Design Studio
Entries RSS Comments RSS Log in