Beberapa waktu yang lalu saya diminta menulis untuk rubik teknologi di Koran SINDO. Berikut adalah tulisan pertama saya di Koran Sindo tanggal 22 Juli 2008. Tulisan ini di re-posting di blog ini atas seijin pihak Koran SINDO (Seputar Indonesia). Walaupun gaya menulisnya agak berbeda dengan gaya blog sekemer kita, yahh tapi semoga bisa bermanfaat buat audience yang lebih luas ๐ *ngacirrr ๐ *btw, besok (Rabu 27 Juli 30 Juli 2008 ada tulisan saya yang lain di sana, beli dong SINDO nya! ๐ *wakakaka sponsor abeeesss ๐ *ngumpet!
Tuesday, 22 July 2008
SALAH satu kelemahan negara ini adalah melihat bahwa industri elektronika merupakan salah satu komoditas yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan negara, sekaligus meningkatkan nilai jual dan nilai kompetisi kita dibanding negara lain di dunia.
Ada dua jenis industri elektronika yang pada dasarnya akan menguasai dunia. Pertama adalah industri komersialisasi komponen elektronika seperti yang dilakukan home industry di China dan Taiwan. Sementara yang lain adalah industri dasar elektronika seperti mikroelektronika seperti yang dilakukan Intel dan AMD.
Hampir setiap rumah tangga di dunia termasuk di Indonesia, telah menjadi korban komoditas dari perusahaan penentu masa depan elektronika seperti Intel dan AMD. Intel sebagai pemegang pasar terbesar industri mikroprosesor dengan market share lebih dari 80 persen, menikmati posisi empuk ini dengan meluncurkan segala jenis mikroprosesor dengan varian-variannya, dengan segala bentuk harga di setiap pasar.
Mulai pasar entry level seperti Pentium Dual Core maupun pasar mainstream seperti Core 2 Duo, dan pasar high-end seperti Xeon. Kelemahan pemerintah dalam menyikapi pentingnya penguasaan industri hulu ini, minimal penyebaran informasi yang baik dan tepat guna bagi masyarakat negeri ini telah memberikan dampak beberapa hal yang cukup vital, antara lain:
(1) Korban Teknologi.
Hampir sebagian masyarakat pengguna teknologi informasi pada dasarnya buta terhadap pemilihan komputer yang tepat bagi kebutuhan rumah tangga atau perkantorannya. Penguasaan atas iklan dan disinformasi membutakan sekian banyak mata untuk melihat komputer apa yang paling tepat bagi kebutuhan yang dibutuhkan.
Pada dasarnya, setiap komputer yang dibeli di pasaran, dapat dipastikan merupakan barang obsolete (kuno), karena pihak produsen, dalam hal ini Intel dan AMD, selalu menemukan hal baru di laboratorium mereka yang siap dipasarkan dan dijadikan komoditas.
Jadi patutkan kita membeli prosesor terbaru dengan harga premium USD130 (Rp1,2 juta) hingga USD300 (Rp2,7 juta), apabila kita tahu bahwa barang yang kita beli sudah merupakan komoditas yang akan digantikan setiap masa,dan tersedia dalam varian yang lebih murah seperti Intel Pentium Dual Core dalam range harga USD70 (Rp640.000), dimana beda performansi yang dihasilkan sangat marginal sekali,dan ongkos produksi keduanya adalah sama.
Anda mungkin membutuhkan lebih banyak memory dan VGA yang lebih cepat untuk memberikan pengalaman berkomputasi lebih menyenangkan dibandingkan membeli produk processor yang lebih baru dan lebih mahal. Ada pepatah dalam industri mikroelektronika bahwa selagi kita berurusan dengan Bit dan Bytes (ukuran penyimpanan data dalam istilah komputer) maka akan selalu dikenal jargon: faster, cheaper, better.
Mungkin Anda masih ingat betapa komputer 60MHz yang dahulu Anda beli sudah menghabiskan sekian juta rupiah dan relatif tidak dapat dipergunakan untuk apa-apa bagi kebutuhan komputasi hari ini, karena konspirasi perusahaan mikroelektronika dan perangkat lunak yang selalu memproduksi software yang lebih besar, lambat, dan mahal.
(2) Korban Krisis Energi.
Setiap punggawa negeri ini harusnya mengerti betapa besar daya yang dibutuhkan oleh komputer pada hari ini relatif lebih tinggi dibandingkan komputer 10 tahun yang lalu. Komputer Pentium 4 misalnya membutuhkan daya lebih dari 230 Watt dan Pentium Core 2 Duo yang lebih efisien pun masih membutuhkan daya 65 Watt.
Belum lagi apabila kita menghitung konsumsi layar tabung kita (CRT) yang mencapai 100 Watt. Bayangkan sekian banyak perkantorannya dan rumah tangga menggunakan komputer dan mengonsumsi sekian megawatt hanya untuk kebutuhan berinternet maupun menulis dan game. Padahal, teknologi lain yang tersedia dari alternatif produsen lain lebih memfokuskan diri pada teknologi yang hemat daya seperti mikroprosesor hemat daya yang hanya mengonsumsi kurang dari 3 Watt.
Sekian banyak energi yang dihabiskan hanya untuk melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak membutuhkan konsumsi energi yang sedemikian besar, namun karena kurangnya pemahaman pejabat negara dan yang berwenang, kita sekarang ikut menikmati hasil panetrasi dan komoditas dari dua raksasa dunia tersebut dengan bonus menikmati hari-hari penggiliran jatah listrik.
Bayangkan berapa banyak rumah tangga di desa yang seharusnya dapat menikmati penerangan dari satu unit komputer yang kita konsumsi karena kekurangpahaman dan lemahnya sosialisasi yang ada. Bagaimana kita harus menyikapinya? Saya akan lanjutkan di bagian kedua soal pembahasan teknologi bagi kepentingan kita semua,pekan depan.(*)
Oleh : ADINOTO KADIR
Konsultan dan praktisi teknologi informasi. Menulis di www.adinoto.org, dapat dihubungi di: adinoto_at_adinoto_dot_com
Recent Comments