Menyambung topik seputar pencalonan diri saya menjadi Walikota Bandung Perseorangan (Independen) (baca: Manifes saya), berikut beberapa update yang ingin saya sampaikan:
1. Menilik responds yang saya terima dan dukungan dari rekan-rekan lewat comment, telpon, dan SMS, saya putuskan untuk meneruskan pencalonan diri tanpa harus menunggu 300 comment di blog.
2. Kemaren saya sudah mendatangi kantor KPU Pilwalkot Bandung untuk mengambil formulir pendaftaran, juga menyempatkan diri berbincang-bincang dengan Bapak Ridwan Effendi (Kasubbag Hukum & Humas) dari KPU tentang sosialisasi pencalonan independen. Pembicaraan juga ga melulu masalah teknis, tapi juga masalah pengharapan soal kelancaran pelaksanaan KPU pilwalkot ini, kurangnya tim teknis di lapangan untuk membantu verifikasi suara di PPS, dan kondisi umum masyarakat di negeri ini. Harapan beliau juga (dan kita semua) bahwa siapapun yang terpilih merupakan pilihan terbaik bagi kota ini, dan harus dapat diterima oleh semua pihak baik yang menang maupun yang kalah.
3. Per kemaren tanggal 8 Mei 2008, sudah ada 20 calon independen yang mendaftarkan diri di KPU Pilkot Bandung. Hal ini merupakan suatu sinyal bahwa calon independen/perseorangan disambut meriah oleh masyarakat. Bahwa Kota Bandung merupakan percontohan pertama implementasi Undang-Undang yang baru disahkan soal calon perseorangan/independen, merupakan hal menarik untuk dicermati. Dengan kinerja partai seperti sekarang, sudah menjadi tugas dan kewajiban kita untuk menunjukkan kepada partai bahwa tugas yang mereka emban adalah sebagai wakil rakyat bukan hanya mewakili partainya.
Saya sendiri sehari sebelumnya sempat di hubungi oleh Paman Tyo, ngobrol-ngobrol ringan seputar pencalonan ini, beberapa hal yang saya quote menarik adalah statement beliau bahwa “Yang anda bangun ini adalah jalan setapak, mungkin yang menikmatinya nanti adalah orang lain”. Ya Paman, perjuangan untuk memberikan pembelajaran, minjem istilah rekan Made Wiryana adalah diskursus (discourse) bagi masyarakat bahwa kita semua sudah capek dengan model perpolitikan seperti sekarang, 1o tahun kita jalani tanpa perubahan yang berarti.
Rekan JaF juga kemaren ngagetin dengan melakukan wawancara untuk Radio Singapore International (www.rsi.sg/indonesian), wawancara publik saya pertama sehubungan dengan karir politik, dilakukan via telpon selama 20 menit untuk kebutuhan on air 10 menit. Ga tau deh apa yang di potong nantinya.
Secara tidak sengaja juga saya kemaren bertemu dengan Sdr. Sonny Soedharsono, Ketua Umum Asosiasi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat yang notabene juga merupakan Calon Independen Pemilihan Calon Gubernur Jawa Barat kemaren (yang belum beruntung belum mendapat pengesahan Undang-Undang pada masa itu), kami banyak ngobrol seputar kondisi masyarakat dan perpolitikan yang ada.
Sebagai catatan akhir, ada beberapa pengalaman penting dan menarik yang saya alami selama proses ini berlangsung. Pertama, secara tidak langsung mengalami proses pengayaan diri terhadap interaksi langsung kepada masyarakat, seperti ketika salah seorang anggota masyarakat yang dengan sukarela membagikan Manifes saya dihadang dan dibentak dengan perkataan “Maneh rek nantang aing?” dan pertanyaan-pertanyaan masyarakat yang muncul seperti “Titelnya apa ya?”, dan upaya beberapa calon independen lain untuk mendiskreditkan dengan melakukan black campaign. Sungguh pembelajaran ini adalah sesuatu yang mahal, tapi sungguh suatu pengalaman tak ternilai rasanya ketika kadang pada satu malam memperoleh SMS langsung dari warga
“Saya salah seorang yg setuju dgn niat Bp, namun lebih baik klu latar belakang Propesi/Jabatan soalnya saya orang gagap Teknologi, Bagaimana pa? Trim’s”Saya kemudian memberikan balasan…
“Terima kasih kang atas dukungannya, buat kita yg penting ada pembelajarannya bagi masyarakat semua bahwa partai bukan satu-satunya jalan untuk bisa berkontribusi ke masyarakat dg menjadi pemimpin. Soal teknologi, itu cuma hobby kang, tentunya kita bangun solusi yang mengedepankan rakyat dan berbasis ekonomi kerakyatan seperti pemikiran pemikiran saya di www.adinoto.org sekali lagi hatur nuhun.”
kemudian… “Trm ksh atas jawaban dari bp nmn ltr blkng bp saya msh blm th saya engga bisa mengakses Internet jadi saya hnya tahu tujuan bp saja,saya brd d lain tmpt-” “saya hanya seorang msrkt kecil yg merasa simpati dengan tujuan bp,dan untuk mdnsosialisasikan bp saya kesulitan diplomasi,karena keterbatasan ilmu-nyambung”
Saya hanya bisa menjawab…
“Oh ya kang. Yang penting kita sama sama coba membangun kota tempat tinggal kita ini menjadi tempat yg lebih nyaman dan baik bagi semua kang. Caranya bisa macem2, dimulai dari kesadaran dan lingkungan terkecil kita. Setuju ga kang? Kalo ga kita yg perduli dgn tempat tinggal kita sapa lagi? Hormat saya.”
Betapa suatu perasaan tersendiri untuk bisa langsung berkomunikasi dengan masyarakat kecil. Dimana pada saat sekarang perekonomian sedemikian sulitnya bagi sebagian orang, maka kepedulian dan ketajaman perasaan makin terabaikan.
Satu catatan kecil, terakhir tapi tidak kalah pentingnya, saya rasa berat bagi seluruh calon independen untuk dapat memenuhi persayaratan administratif 80.000 KTP (3% dari jumlah penduduk, dan minimal 50% dari seluruh kelurahan yang ada). Dengan jumlah penduduk 2,1 juta jiwa, setiap calon independen pilwalkot Bandung minimal membutuhkan 63 ribu kopi KTP (ditambah dengan resiko duplikasi dukungan dan kopi KTP yang tidak sah maka angka 80.000 merupakan angka minimal yang masuk akal). Apabila syarat sedemikian berat dipersyaratkan untuk Calon Independen/Perseorangan, kenapa syarat yang sama tidak dipersyaratkan untuk Calon dari Partai? Atokah hanya akal-akalan partai besar saja agar keincumbent-an nya tidak tergoyahkan? Bagaimana menurut anda?
Recent Comments