Miskinnya (Kreativitas) Dalam Pendidikan di Indonesia

Social Add comments

Beberapa waktu belakangan ini saya jadi banyak berpikir (makin tua kali yee), kenapa kualitas pendidikan di Indonesia dalam kacamata komparatif saya sangat rendah. Saya perhatikan kualitas lulusan S1, (bahkan S2), akademi, sekarang sangat parah. Kacamata saya selaku pelaku ekonomi, calon employer, pengamat, dan sebagai masyarakat awam, kadang cuma bisa mengelus dada. Sedemikian rendahnya kah kualitas pendidikan kita sehingga lulusannya hampir semua dikategorikan tidak bermutu! Mengapa sampai bisa terjadi demikian? Apakah yang menjadi sebabnya? Dan bagaimana mungkin Indonesia bisa mengejar ketinggalannya dibandingkan negara-negara lain dengan kondisi demikian? (yang ada kata gue mah makin jauh gapnya πŸ™ )

Saya akan serahkan topik ini untuk menjadi bahan perenungan bersama, silahkan disimpulkan oleh masing-masing, terutama apabila kadang timbul rasa sedikit apatis, apa yang dapat dikontribusikan oleh masyarakat biasa seperti kita (disisi lain perimbangan akan perasaan ingin berkontribusi justru besar).

Here’s the hint: Kalo menurut pandangan saya sih, ada beberapa hal yang membuat kualitas pendidikan kita parah seperti sekarang. Diantaranya adalah : Rendahnya atmosphere kreatif dikembangkan di lingkungan didik di kampus/sekolah. Dari kecil sampe lulus kuliah, para siswa hanya dijejelin kurikulum. For what? Mereka bahkan tidak pernah tahu untuk apa, karena ya daya nalar dan sisi kreatifnya tidak pernah diasah (distimulus). Selama ini kita hanya dijejali tugas-tugas sekolah, itung-itungan, tanpa mengerti esensinya akan dipergunakan untuk kebutuhan real di dunia nyatanya sebagai apa. Exception? Ada. Dari sebagian kecil saja para pendidik yang cukup “creative” untuk berani tampil beda. The rest? Hmm tidak berani berexperiment atau mungkin ya karena dicocok dengan target kurikulum, dan bahkan tidak dibekali dengan kemampuan untuk menjadi seorang pengajar (Menjadi seorang pengajar itu tidak bisa otomatis bisa, bakat dan teknik harus ditularkan). Saya sendiri penganut aliran mencimplak dan praktek, dengan demikian mereka menjiwai apa yang dikerjakan.

Beberapa waktu yang lalu saya sedang bertugas ke luar negeri. Betapa mata batin saya tersentuh ketika menyaksikan puluhan anak-anak taman kanak-kanak sedang berlarian di bandara dan “diperkenalkan” dengan dunia oleh para pembimbingnya (yang lebih terkesan sebagai ibu-ibu rumah tangga). Oh. Kapan Indonesia bisa mengejar ketinggalan dibanding dunia lain, apabila kita tidak pernah merevolusi sistem belajar mengajar di dunia pendidikan kita. Salah satu cerita yang paling berkesan dari kaisar Hirohito yang ketika itu kalah perang setelah dibombardir bom atom Amerika adalah…. munculnya satu pertanyaan dari beliau “Berapa banyak guru kita yang tersisa?”. Sedemikian pentingnya posisi pendidik bagi suatu bangsa, kenapa tidak pernah menjadi perhatian serius bagi kita. Membangun generasi jauh lebih mulia demi kemajuan bangsa daripada mengurus persoalan lain yang cuma kental unsur politisnya.

Hmm apa Pak SBY demen baca blog ga ya? Lah tulisan ginian ga masuk untuk di SMS ke 9949 πŸ˜€

34 Responses to “Miskinnya (Kreativitas) Dalam Pendidikan di Indonesia”

  1. Priyadi Says:

    heheheh SAMA PERSIS ama pikiran gua. gua pikir penyebabnya adalah kekolotan pelaku pendidikan: guru, ortu dan siswa itu sendiri

    * skill menghafal lebih diutamakan
    * hasil akhir lebih dipentingkan daripada proses menuju hasil akhir
    * baru masuk sekolahan udah kena bantai di-OS
    * guru2/ortu menegakkan disiplin dengan cara kasar yang sama sekali belum diperlukan
    * kurikulum terlalu ketat, sehingga gak ada ruang untuk pengembangan di bidang lain
    * dst

    akhirnya kita cuma punya workforce yang kerja bagus sekali di bawah supervisi ketat dan jenis pekerjaannya monoton, tapi jelek banget dalam kerjaan yang bersifat research yang butuh kreativitas tinggi.

  2. Wajah Pendidikan Indonesia Says:

    Miskinnya (Kreativitas) Dalam Pendidikan di Indonesia

    Publikasi: Adinoto’s Blog
    Judul: Miskinnya (Kreativitas) Dalam Pendidikan di Indonesia
    Penulis: Adinoto Kadir

    Saya perhatikan kualitas lulusan S1, (bahkan S2), akademi, sekarang sangat parah. Kacamata saya selaku pelaku ekonomi, calon employer…

  3. Bayu R Says:

    Satu perbedaan yang terasa nyata banget.

    Waktu saya sekolah di Jakarta, semua rumus2 matematika, fisika, kimia, blablabla semuanya harus dihafal. Penekanannya pada hafalan.

    Pas saya pindah ke Australia, saya kaget waktu murid2 disuruh guru untuk menyiapkan catatan rumus2 pada selembar kertas, untuk dibawa masuk ke ruang ujian.
    Guru saya menekankan bahwa yang penting kalian mengerti cara pakai rumus itu pada case study yang bermacam dan bahkan tricky sekalipun.
    Waktu kuliah malahan ada beberapa ujian yang mempersilahkan murid untuk membawa buku teks ke ruang ujian.

    Disini saya melihat bedanya adalah antara _menghafal_, dan _memahami_.

    Di Indonesia terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menghafal, dan menyisakan waktu yang sedikit untuk memahami.
    Masih inget jamannya ulangan di Jakarta, temen2 bilang “ah, hafalin aja, susah2 amat”.

    Berapa kuat sih ingatan seseorang? Cepat atau lambat, sudah tidak muat lagi di ingatan.
    Tapi kalau punya kemampuan untuk memahami sesuatu, kemampuan ini bisa dipakai berulang2 untuk berbagai bidang pengetahuan.

  4. adinoto Says:

    Pri said on August 5, 2005 @ 10:09 pm
    heheheh SAMA PERSIS ama pikiran gua. gua pikir penyebabnya adalah kekolotan pelaku pendidikan: guru, ortu dan siswa itu sendiri

    Pak, kok ya gue rasa kurang pas ya kalo kesalahannya musti ditimpakan ke guru, ortu dan siswa ya karena : guru? apakah memang mereka dipersiapkan untuk menjadi pengajar yang baik? apa mereka memang guru2 yang berkualitas? berapa persen dari orang yg brilian memimpikan profesi jadi guru? πŸ™ … dan malah yang ada IKIP karena gengsi di Universitaskan? πŸ™ … IKIP ini mustinya ujung tombak, karena mengajar itu punya trik tersendiri bukan sekedar mengerti berarti bisa membuat orang lain juga bisa mengerti? (keahlian untuk menjadi pendidik), kalo ortu ya kalo emang ortunya dari kalangan kurang mampu yang berarti tingkat pendidikannya kurang baik gimana ya? dan kalo siswa gue selalu ibaratkan kertas kosong, harus ada yang membentuk polanya dulu baru dia bisa ngisi diarynya.

    Salah satu memotong jalur kemiskinan adalah dengan meningkatkan pendidikan (dalam arti kata mencerdaskan masyarakat), dengan berbagai langkah strategis yang mustinya di”telurkan” dan di”tularkan” oleh pemerintah sebagai contoh. Kalo pendidikan dari rumah, lingkungan rasanya masing-masing sudah memulai, tapi yang gue concern bagaimana langkah pemerintahnya nih πŸ™ … sampe amburadulnya saja, rata-rata masyarakat Indon cara bermasyarakat saja tidak mengerti (disiplin). Hidup sekarang udah kayak di negara barbar, nyeberang seenaknya, aturan jadi tidak penting πŸ™ … dan lulusan sekolah? waduh semua cuma mengejar gelar. So sad.

  5. sueng Says:

    Kalau melihat kurikulum anak-anak sd-sma sekarang sepertinya anak didik itu ingin dijadikan super-human , mesti segala serba bisa jadi bebannya sangat berat , boro mau berpikir kreatif ngapalin aja sudah susah banget.
    Mungkin karena yang nyusun kurikulum dikita orang-orang pinter kali yah semuanya profesor doktor jadi semua orang dianggap seperti itu harus segala bisa.
    Kalau menurut-ku sih anak sd tuh yang penting sehat,senang,bisa baca,bisa nulis (sukur-sukur nulis kreatif), bisa ngomong (sukur-sukur bisa ngomong kreatif) dan bisa ngitung ndak perlu yang aneh-aneh lainnya.
    Untuk yang sudah punya momongan di sd pasti ngerasain seberapa berat beban belajar anak-anak sekarang , kalau jamanku dulu sih PR juga gak tentu seminggu sekali , jam 12 dah sampe rumah , yang jelas happy ………. toh tetep idup juga sampe sekarang , memang blum bisa jadi presiden RI sih ……..

  6. adinoto Says:

    hmm bener pak, kadang gue mikir apa anak gue ga usah disekolahin aja ya? diajarin non-formal and got all education he needs in life. Masalahnya kalo ga ada certificate sama sekali gmana mau diakui =))

    Hush anak aja blon punya πŸ˜€ blon-blon udah keder mikirinnya… wakakaka… Ueng juga perhitungannya udah jauh ke depan wakakaa :))

  7. Priyadi Says:

    #5 #6: kalo punya duit sih sekolahin anaknya di international school, ini juga butuh skill negosiasi karena hampir semua international school gak mau nerima siswa pribumi CMIIW, resikonya udah jelas: sekali masuk internasional school, susah untuk adaptasi di sekolah biasa, untuk kuliah pun ada kemungkinan anaknya susah adaptasi. kalau money bukan problem sih sekalian aja disekolahin di luar negeri (negara barat) dari awal sampai selesai

  8. Priyadi Says:

    oops, sorry, elo pake markdown ya πŸ˜€

  9. sunardi Says:

    Kayaknya kurang setuju dengan Mas Sueng. Karena yang perlu dibekali dengan ilmu yang baik itu malah waktu SD. Maksudnya bukan dijejali berbagai fakta seperti kurikulum sekarang, tetapi lebih pada penggemblengan cara berpikir, berdisiplin, bersosialisasi yang baik, menyenangi ilmu pengetahuan dengan pendekatan yang aplikatif dan lainnya. Sehingga ketika mereka melanjutkan pendidikan sudah punya pondasi yang kuat.

    Masalahnya tinggal meningkatkan standar Assessment guru-gurunya. Nah loh… pasti kebentur lagi… πŸ™‚ Ujung-ujungnya terdengar terlalu idealis yak… πŸ™‚

  10. adinoto Says:

    Iya Pak, kalo nyekolahin anak sih buah simalakama, gue juga blon mau kepikiran at least not for this 1-2 years, lah gue blon kawin wakakaka.. bukan ga well prepared ya. tapi yang gue concern itu gimana dengan masyrakat Indonesia semuanya? bukannya tujuannya itu yang ingin dibahas/dicapai bukan pribadi.

    Hik, pribadi juga mana sanggup nyekolahin anak ke luar negeri dari kecil sampe selese. Gue sih merasa itupun mungkin ga mendidik, karena yang dibutuhkan anak adalah bagaimana bisa survival di lingkungannya, kalo cuma pinter tapi ga adapt karena stimulus nya beda repot juga.

  11. adinoto Says:

    Sunardi, setuju gue dengan peningkatan standar Guru. Ya masalahnya gimana mulainya? Bukannya yang dibutuhkan perhatian ke IKIP yang merupakan buffer penghasil pendidik guru terbesar. Masalahnya kok ya pemerintah malah ngeliatnya IKIP tidak bersaing sampe harus dinamain UPI segala.

  12. Dedhi Says:

    sedikit cerita dari Singapore dan Jepang, yang kualitas Politeknik Swasta aja kampus dan lab serta fasilitas pendukung seperti kolam renang jauh lebih keren dari ITB sekalipun. Bayangin, politeknik, yang di Indonesia cuman dianggap kaum 2nd class.

    Di situ, dunia pendidikan Primary and Secondary (SD-SMP-SMA kalo di Indonesia) itu SANGAT membebani anak sekolah. Walaupun metoda pengajarannya lebih baik, alat bantu lengkap, jumlah siswa di kelas sedikit, tapi ternyata anak sekolah juga STRESS berat bahkan ada yang kepingin bunuh diri karena pelajaran sekolah (kalo di Indo kan mau bunuh diri karena gakbisa bayar, tapi bukan karena pelajaran). Ternyata kejadiannya sama saja, semua orang dewasa itu berusaha menjejali berbagai KEPINTARAN kepada anak kecil yang TIDAK TAHU cara membrikan negative feedback kepada orang dewasa. Mereka gak punya wakil di parlemen yang bisa say ENOUGH! Kondisi diperburuk dimana streaming process (penjurusan) itu sudah dimulai sejak SMP. Satu kali aja anak buruk nilai, bye bye deh impian kuliah di Perguruan Tinggi (Graduate Degree, bukan Polytechnics). Akibatnya sepulang sekolah, anak anak itu lagi lagi kursus-kursus-kursus sampe sore, dengan mata yang sipit sipit berkaca mata. Bandingkan ama kita deh. SMA gue jarang sekolah, paling ngetem di tepi jalan. Ebtanas cuman dapat 5,00 buat Biology, tapi asal cukup buat ambil formulir UMPTN lalu bisa masuk ITB.

    Bottom line, pendidikan di Indo buat dasar dan menengah isinya kok banyak yang sia sia yah, tapi setidaknya tidak bikin stress gue πŸ˜€

  13. Eep si kasep Says:

    pola pendidikan di indonesia lebih mengarah ke penggunaan otak kiri. ambil contoh anak kecil kalau disuruh gambar di sekolah hampir 90% pasti gambar pemandangan degnan 2 buah gunung, tepat di dua gunung itu ada gambar matahari lengkap dengan jembutnya eh sinar mataharinya, kemudian jalan yang berkelok menuju gunung, ya ada tambahan dikit lah pohon kelapa miring.

    aku setuju dengan adinoto, tidak harus di sekolahkan ke luar negeri sejak kecil, tapi lebih penting lagi kita sebagai orang tuanya yang harus lebih banyak lagi menggunakan otak kanan. kalau sekolah lebih banyak mengajarkan anak dengan otak kirinya, ya mau ga mau kita sebagai orang tuanya yang harus mengembangkan otak kanan si anak.

    aku sampai hari ini selalu berusaha tidak melarang anak-anak melakukan apa pun selama itu tidak berbahaya bagi fisiknya. contoh, kalau diberi buku mewarnai, aku bilang sah-sah saja jika warnanya bleber dari garis gambar, malah, anakku yang pertama lebih sering gunain tangan kirinya untuk menggambar dan menulis. aku ga pernah larang, meskipun kadang kala aku mesti berantem dengan orang tua dan mertua aku bahwa jangan dibiasakan pake tangan kiri untuk menulis.

    anak balita sangat ajaib, perkembangan otaknya sangat luar biasa. dalam hitungan kurang dari satu tahun sudah banyak hal yang bisa dia lakukan, yang ga mungkin lagi dilakukan oleh para orang tua dari segi kecepatan pertumbuhan motorik, sensor dan otak. kita ingat, sewaktu kecil, anak-anak yang belum bisa berjalan suka diberi semangat: ayo kamu pasti bisa jalan, ayo jalan terus. sudah gede eh dilarang: awas jangan naik kursi, awas nanti jatuh, awas nanti kejedot…. kayaknya artificial intelligence aja bakalan bingung dapet pelajaran begini (jadi inget film Stealth yang baru diputar).

    dan satu hal…, kalau anak tanya sesuatu hal yang baru jangan pernah kita bilang ga tahu, kita harus jawab sebisa mungkin. kalau ga bisa, ya jujur saja katakan nanti kita cari di buku, atau referensi. sekali kita bilang ga tahu, maka anak kita ga pernah mau atau ragu-ragu buat bertanya lagi… dan itu sempat aku alami dengan anakku.

    jadi dengan pola pendidikan seperti ini di Indonesia, maka tugas kita sebagai orang tua menjadi sangat berat. so…, bagi yang sudah punya anak, coba pikirkan untuk memiliki waktu luang yang lebih banyak dengan anak-anak, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan & bisnis. lalu kita yang sudah tua-tua ini, mau ga mau juga harus belajar bagaimana lebih mengoptimalkan otak kanan kita.

  14. Eep si kasep Says:

    #6 adinoto,
    baik juga Di…., kalau lu ntar punya anak ga mau sekolah, ya ga usah dipaksa, beri saja dia kemampuan non formal, pendidikan citra diri yang baik, kemampuan human relationship yan bagus. toh rata-rata orang kaya di dunia ini juga ternyata…, hampir semua membenci sekolah dan ga selesai sekolahnya (jadi inget pidato SJ).

    kalau aku punya anak ga mau sekolah, maka aku akan:
    1. tanya anak maunya atau senang mendalami bidang apa? musik, komputer, seni grafis, etc? gue akan masukan anak ke sekolah (formla/non formal) dibidang yg dia sukai.
    2. aku akan bekali anak gue dengan pendidikan pengembangan diri (pasti non formal)
    3. aku akan bekali anak gue dengan pendidikan keuangan dan bisnis (mungkin non formal), misalkan masuk ke semacam entrepreneur university-nya Purdi Chandra

    2 & 3 akan tetap aku berikan meski anakku sekolah di sekolah formal.

  15. sunardi Says:

    Yang memprihatinkan adalah pendapat bahwa karena guru tidak sejahtera, maka mutu pendidikan jadi rendah. Kayaknya jarak pandangnya kok terlalu pendek.
    Di satu sisi memang dengan kurang sejahteranya guru mengurangi kualitas pendidikan. Tetapi yang paling penting yang harus dilakukan adalah peningkatan kualitas guru, misalnya dengan melakukan berbagai training dan ‘uji kelayakan’/Assessment Test.
    Kemarin kami mencoba melakukan Training untuk guru SD/SMP se kab. Kampar di Riau sekaligus melakukan Assessment Test bekerjasama dengan Training Centre di Jakarta dengan metode dari UNSW Australia – hasilnya huhhh… sesak nafas saya.
    Sekali juga nyoba ngadain test internasional Bahasa Inggris dan Komputer bekerjasama dengan UNSW untuk siswa SLTP dan SLTA… Jangankan siswanya… gurunya yang ikut test juga hasilnya hanya sebagai PARTICIPANT boro-boro dapet level CREDIT.
    πŸ™‚

  16. sai Says:

    Yups .. gue setuju dengan kang Eep si kasep ….
    anak gue yang nomer 2 otak kanannya sangat aktif …. bahkan hampir tiap sebelum tidur malam masih banyak ide yang dilontarkan di atas tempat tidur … belum lagi ide2nya bikin gambar, wayang2an, mainan, dll.
    tapi yang nomer 1 dan 3 otak kirinya yang aktif … good planner, kalo mengerjakan sesuatu sangat tertata en rinci ….

    All in all, kita musti liat dulu si anak personality-nya seperti apa … kalau jaman dulu gue pernah baca buku Personality Plus-nya Florence Littaeur buat mengenali diri en orang sekitar …. eh ternyata pola perilaku tersebut sudah muncul pada usia yang sangat dini pada anak … (bersama istri sedikit banyak kami bisa mengenali pola perilaku anak bahkan sejak hitungan usia beberapa bulan)

    Tapi untuk survive … kita juga musti tricky dong …:D …kalo di Indonesia kira2 pola penghargaan terhadap gelar masih belum luntur, ya mau ga mau yang otaknya mampu disekolahin setinggi-tingginya … kalau yang ga mau sekolah formal .. ya musti dicarikan cara agar di bidang yang diminati bisa mendapatkan semacam certificate gitu ….

    Dan emang peran ortu untuk hal ini semakin besar .. dan itu BUKAN HANYA TUGAS ISTRI lho ….

    BTW … di kampus gue sering ngecek ke mahasiswa utk ngegambar pemandangan … lebih dari 90% emang nggambarnya seperti yang kang Eep bilang …kalo ditanya apa warna daun … lebih dari 90% juga jawabnya ijo … Emang ga biasa kreatif ….

  17. andriansah Says:

    hhmmm pendidikan kadang menjadi buah simalakama antara murid dan guru
    Untuk guru ada target bahwa nanti waktu ujian siswanya sudah harus bisa rumus/pelajaran ini, sedangkan guru itu tahu kalo siswa belom siap, lalu kalo siswa nya tidak lulus maka gurunya akan kena tegur/sangsi/whateverthenameis.

    Untuk murid ada keharusan harus dapat ranking atau nilai 10 semuanya, sedangkan dia sendiri tidak siap dengan pelajaran yang di berikan.

    Kata Alm Kakek saya yang menjadi guru dan kepsek waktu jaman belanda, pendidikan itu kurang lebih
    TK: bermain-main sepenuhnya
    sd: banyak bermain dan sedikit belajar
    smp:1/2 antara bermain dan belajar
    sma: 1/4 bermain bermain dan 3/4 belajar
    kuliah: bermain dan belajar, terserah pengaturannya karena sudah kembali kepada cara belajarnya sudah beda dengan 3S (sd, smp, sma)

    Artinya pendidikan itu harus sesuai umur murid itu jangan sampe berlebihan.
    gw punya sepupu yang belajar teorema pitagoras (perhitungan segitiga sama sisi, kalo gak salah) pada kelas 3/4 sd, padahal gw belajar itu kelas 1/2 smp. Yang ada Alm kakek gw kaget waktu harus ngajarin itu ke sepupunya karena waktu jaman dia ngajar, dia ngajarin itu bukan untuk anak sd.

    Jadi sepertinya kurikulum jama belanda masih lebih bagus dari jaman sekarang.

  18. sunardi Says:

    Untuk mas Andri…
    Teori itu mungkin dapat diberlakukan untuk sebagian orang. Tetapi tidak untuk yang lain. Zamannya gak cocok lagi.
    Contoh…
    Anak saya umur 4 thn. tetapi sudah lancar baca – tulis (maksudnya udah bisa menulis sambil di dikte). Udah bisa ikut baca koran malah walaupun gak ngerti artinya, padahal belum masuk TK. Sementara saya dulu mau naik kls 2 SD baru bisa baca (blm menulis). Padahal saya gak pernah maksa harus belajar ini dan itu. Karena memang kemauan anak itu aktif untuk bertanya terus, bahkan dia sendiri yang setiap kali meminta untuk diajari ini dan itu. Bahkan sekarang menginjak umur 5 thn pada bulan Agustus ini, sudah lancar baca Al-Qur’an, sementara saya dulu kelas 5 SD baru bisa baca huruf Arab – belum Al-Quar’an. Walaupun tidak tertutup kemungkinan banyak anak-anak seusianya belum mampu untuk menerima pelajaran setinggi itu.
    Jadi sebenarnya kalau fokusnya pada pendidikan anak, tidak bisa kita menumpukkan beban hanya kepada guru di sekolah. Jadi di rumah pun peran orang tua juga sangat besar untuk membimbing si anak untuk dapat belajar tanpa harus terbebani. Contoh, kita menyuruh anak kita ngerjain PR, sementara kita duduk nonton TV dengan suara yang keras, itu namanya menyiksa anak.
    Dari umur 3 tahun anak saya udah saya rangsang untuk banyak bertanya dan belajar tanpa dia sadar bahwa dia sedang belajar, yaitu dengan bermain., menggambar, bernyanyi dan lainnya. Saya menerapkan prinsip Multiple Intelligence untuk merangsang pertumbuhan anak saya. Jadi bakatnya akan ketahuan sejak dari kecil. Karena usia 2 – 5 tahun adalah usia keemasan pertumbuhan otak anak.
    Untuk berlatih menggambar misalnya, saya menggunakan tehnik “Drawing With Children”nya Mona Brooks yang melatih anak menggambar bukan hanya dengan mengaktifkan fungsi otak kiri saja tetapi juga melatih potensi otak kanan, sehingga menggambar juga merangsang keahlian anak pada bidang yang lain.
    Dan sebagai orangtua kita juga harus tahu perkembangan psikologi anak.
    (Rumit kan jadi orang tua? πŸ™‚ πŸ™‚ )
    Sampai sekarang anak saya genap umur 5 thn pada tgl 24 Agustus 2005 ini, dan saya tidak memasukkannya ke TK atau Playgroup, karena saya tahu kurikulum TK sampai dimana dan kualitas pengajarnya (khususnya di tempat saya tinggal ini) bagaimana. Jadi saya pikir buang-buang biaya saja. Yang jelas pada sekolah TK titik beratnya pada pelajaran sosialisasi saja.

    Masalahnya secara skala besar adalah, tidak semua tingkat pendidikan orangtua sama. Dan kalau guru ada sekolahnya, untuk jadi orang tua tidak ada sekolahnya. Makanya kita harus belajar dan mencari metode yang terbaik untuk jadi orangtua supaya kita tetap bisa membimbing keluarga dengan baik.

    Sebagai gambaran bagi yang belum jadi orangtua, Anda harus siap-siap ditanya seperti ini:
    “Pa, kalau mimik mama untuk mimik, Adik. Jadi mimik Papa untuk apa Pa?” πŸ™‚
    “Pa, pusar di perut kita ini untuk apa Pa?”
    “Pa, kalau mata kan untuk melihat. Jadi pipi kita untuk apa, Pa?”

    Itulah beberapa pertanyaan yang pernah ditanyakan anak saya yang sekarang udah 5 th yang kelihatannya sederhana tetapi harus saya jawab dengan cara yang tidak boleh serampangan ..
    Jadi ‘be prepare’ deh untuk calon Bapak/Ibu. Jangan cuma berbicara pendidikan selingkup sekolah saja, tapi juga di rumah.

  19. jesie Says:

    satu lagi “mungkin” penyebab mandegnya pendidikan di Indonesia, Kurikulum (seringkali) diatur oleh (mantan) penguasa sesuai dengan kemauan.

    Salah satunya adalah ketika seorang ibu guru Retno Listyarti di gugat oleh mantan pejabat Akbar Tandjung, hanya karena pada salah satu buku karangannya ada satu bagian membahas Dissenting Opinion kasus Bulog, yang diwacanakan sebagai bahan penalaran kepada murid-murid SMA kelas II.

    Ini membahayakan, karena guru-guru yang mengajak muridnya berpikir kritis terhadap realitas harus di “sunat” oleh tangan-tangan kekuasaan (bahkan buku tersebut harus ditarik !).

    Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) seharusnya (teoritis) bisa secara minimal membantu meningkatkan kualitas insan Indonesia. Toh pada akhirnya semuanya hanya akan menjadi hambar (menurut saya) bila guru dan (calon) muridnya susah untuk “makan” dan kesadaran pemerintah untuk memperbaiki hal itu tidak ada.

  20. Eep si kasep Says:

    betul jesie..,
    terutama pelajaran sejarah, itu pasti sesuai kepentingan penguasa pada saat itu. contoh adalah peristiwa janur kuning (serangan 12 jam di jogja), peristiwa gestapu, supersemar, yang hingga hari ini tidak jelas.

  21. adinoto Says:

    wah wah wah… ga ikutann.. politik … hiiii serem πŸ˜€

  22. Budi Says:

    Saya juga termasuk penganut menjiplak dan praktek, ternyata sangat efektif. Entah apa sistem kayak gituh bisa ditiru di blantika pendidikan indon.

  23. Lawren Says:

    Duh, seandainya pak menteri pendidikan baca ini ya…. tp gak ada gunanya juga. Lha wong pak menteri kita kyknya belum sadar juga artinya pendidikan. Saya ngiri dengan Bayu yang sempat sekolah di Australia. Tapi boleh juga tuh cara guru disana. Ulangan matematika boleh liat rumus… yang penting memahai dan bukan rumus.Betul juga tuh… pas saya ngajar Inggris juga gitu… dan hasilnya lebih baik juga ketimbang disuruh hapalin formula…..
    tapi yang saya heran, waktu saya sekolah dulu pake cara menghapal kok ya bisa ya? sekarang kok sulit dan cenderung malah gak bisa. Heran saya…..
    Ada apa ya?

  24. alia Says:

    hi! sorry nyasar ke blog nya yaa… mungkin ada beberapa catatan yang memang membuat system pengajaran kita seperti sekarang. latar belakang (budaya) kita yang terlalu mengagungkan orang yang lebih tinggi kedudukannya udah masuk mendarah daging baik terhadap subyek maupun obyeknya. subyek merasa priyayi, objek merasa abdi dalam. sehingga apabila abdi dalam ingin bertanya atau berpendapat ada perasaan sungkan karena merasa takut, lebih rendah atau apalah namanya. sedangkan, priyayi, karena merasa tidak ada yang bertanya berpikiran apa yang saya ucapkan adalah benar. sehingga pola tukar pikiran yang diterapkan di dunia barat tidak bisa sampai ke indonesia.

    selain itu, keadaan finansial (siyahhhhh!) menjadikan faktor andalan. di luar, pekerjaan dosen adalah HANYA dosen! tidak dibebankan oleh tetek bengek untuk cari gaji tambahan dengan proyek di luar kerja utamanya. dengan terfokusnya pada satu pekerjaan dan fasilitas yang memadai (mis. ruang kerja pribadi) atau adanya persyaratan bagi seorang dosen untuk terus meningkatkan kualitasnya (research.red) menjadikan satu tamparan bagi dosen tersebut untuk terus berkarya. pengalaman sayabelajar di luar, mencari profesor adalah sangat gampang.. cukup kirim email jam 7 pagi.. jam 7.15 udah ada balasannya… di indonesia?? huaaaaa tau sendiri kan? *wink2. dengan adanya hambatan ini, proses diskusi untuk tukar pikiran menjadi terhambat dan muncul keengganan diantara mahasiswa untuk berpikir *ahhh susah nyari dosennyaaa…* hiks… saya berharap mahasiswa saya tidak berpikiran seperti ini pada saya :))

    saya pelaku universitas tidak menyatakan sepenuhnya saya benar karena sayapun manusia biasa.

    senang membaca tulisan anda.

    alia

  25. ireng Says:

    wah ramenya… ikutan!

    saya pernah bahas masalah ini di warung rujak sama temen² praktisi IT. oh iya di sebelah warung rujak itu ada kebetulan ada international school, dan temen² sering ngajak hang-out pengajar di situ.

    saya sempet iseng tanya ‘yang diajarkan di sekolah ini apa saja sih?’, dan jawaban yang saya terima bener² unexpected, bayangin aja kelas 1-3 ato 4 diajarin maen game (puzzle, lego etc…) tiap hari lage, baru kelas selanjutnya diajarin berhitung dll.

    trus, saya balik tanya ‘hmmm… trus kedepannya gimana?’, dan jawabnya ‘ya itu terserah mereka mau jadi apa? mereka sudah bisa menentukan sendiri mau melanjutkan study kemana, yang tertarik sejarah, mereka ambil major in history, begitu juga yang tertarik dengan berhitung mereka akan ambil major di bidang itu…’.

    kemudian ada yang reply ‘beda dengan sekolah yang ada di indonesia, mereka kasih pelajaran yang campur aduk’, ya jadinya gini typical orang yang multi-tasking (sembarang bisa, asal coba², tanpa baca manual book… dijamin bisa, modal learning by doing). (OOT: jadi inget teman yang tidak bisa baca-tulis bisa menjalankan mesin berat sekelas traktor, fork-lift etc… [hanya modal coba²])

    dan satu lage, di Indonesia yang dibutuhkan masih selembar kertas yang orang bilang ‘ijazah’, padahal sudah kebanyakan perusahaan yang memberikan persyaratan pada lowongannya, ‘calon pelamar harus lulus sertifikasi (sekelas CCNA etc…)’, dan mereka tidak butuh yang namanya ijazah…

    eof… ^_^

    we hope indonesia could be better day by day by day by day…

  26. anonymuis » Blog Archive » The knowledgement Says:

    […] e it to the education in another countries? For Indonesian readers, this author probably has the similar thought on his entry

    This entry was posted

    on Thursday, S […]

  27. ChibunCutE Says:

    hehe…emank bener tuh dunia pendidikan kita perlu dibombardir abis-abisanbiar gak kolot terus…
    Betapa saya merasakan perlakuan sedikit diskriminatif dari guru2 SMA saya ketika mengetahui saya “berlabuh” di SeniRupa ITB 2005,bukannya di fakultas “teknik sesuatu” ataupun meretas jalan sebagai calon dokter !!! mereka memandang dengan tatapan ”Sangat menyayangkan apa yang saya lakukan”,sementara mereka menyalami dengan sukacita teman2 saya yang berhasil masuk teknik atau kedokteran.
    Bahwa saya masih ingat tatapan kaget dengan alis sedikit naek ketika saya dengan bangga memperkenalkan diri sebagai mahasiswa calon desainer…
    Tapi saya senang di tempat saya berada sekarang…komunitas seni rupa,karena kami adalah orang yang berani tampil apa adanya,melihat sesuatu yang aneh menjadi COOl,dalam upaya pembuktian pada dunia bahwa….kami adalah kami,kami ingin membuat dunia menjadi lebih indah,damai,dan bersahabat…
    Dan saya akan membuktikan bahwa saya mampu membuktikan impian2 yang saya pendam,,,,bahwa saya tidak salah jalan untuk ”terjun” dalam lautan senirupa

  28. ade lang lang Says:

    kalau anak gak bisa baca tulis dipaksa aja …jangan dikasih ampun kekerasan sangat penting,jangan buat anak manja,,pukul aja klau perlu.kalau belum sadar ditempeleng biar kapok .jadi anak akan takut dan mau belajar selamat mencoba

  29. shasha Says:

    yah mao gimana lagi semua kan tergantung ma orangnya. sebenarnya tingkat kreativitas seseorang tergantung pada bagaimana seseorang memproses informasi yang telah didapatkannya.jika informasi yang diproses tersebut sederhana maka tingkat kreativitaspun yang dihasilkan juga sederthana.tetaPI JIKa pemrosesan informasi secara kompleks maka kreativitaspun yang dihasilkan juga kompleks dan banyak. sebenarnya kreativitas bener-bener ada pada usia anak-anak sehingga pada usisa tersebut kudu harus diarah.

  30. Agustiani Says:

    Ikutan ah…!
    pendidikan di Indonesia lebih mementingkan hasil daripada proses dulu memang benar tapi sekarang lain lagi ceritanya.Indonesia berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan baik dalam hal perbaikan kurikulum maupun dalam peningkatan tunjangan terhadap guru.Hal ini terbukti dengan adanya KTSP dan UU Guru dan Dosen. Implikasinya… tau donk!

  31. KUPAS TUNTAS KREATIVITAS « Labschool Jakarta Says:

    […] Miskinnya (Kreativitas) Dalam Pendidikan di Indonesia […]

  32. Larasati Silalahi Says:

    Setuju! Saya sekolah bertahun-tahun di Jakarta dan juga di Perth, jadi nggak pereus kalo bilang memang ada gap yang cukup besar antara pendidikan di Indonesia dan di luar.. yang paling signifikan adalah KREATIFITAS memang! Kayaknya banyak mata pelajaran yang hanya teori, dan ada baiknya lebih banyak praktek, dikasih case study, etc yang bisa menstimulus murid berpikir kreatif. In the end, ketika sudah masuk lapangan pekerjaan, seringan theory doesn’t really matter anymore. Ya kan?

    Selain itu, kurangnya dukungan untuk pendidikan bagi anak-anak bisa jadi menjadi bagian dari ‘lack of creativity’ at school. Dana mungkin? Sering banget kayaknya denger orang jadi buntu kreatifitas cuma karena budget nggak ada. Very sad.

    Anyhow, there is a simple way to help out on education for kids in Indonesia. It’s just a ‘vote’ away! Let’s make a difference! http://www.samsunghope.org/

  33. Larasati Silalahi Says:

    Menstrimulasi maksudnya yaaaa… terlalu berapi-api sampe salah ketik hahaha.. nice blog, Adinoto!

  34. Larasati Silalahi Says:

    Wey hoo.. menstimulasi hadir di sini (setelah salah ketik dua kali karena semangatnyaaa… hahaha)! πŸ˜€

Leave a Reply

WP Theme & Icons by N.Design Studio
Entries RSS Comments RSS Log in